alam dialog pada hari Rabu (20 September) di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations General Assembly atau UNGA) ke-78 di New York, terungkap bahwa negara-negara maju tidak dapat memenuhi janji mereka. Delegasi Indonesia lalu menegaskan kembali dukungan untuk mereformasi arsitektur keuangan internasional, dan berupaya menjelaskan bahwa sistem yang saat ini berlaku sudah tidak sesuai dan ketinggalan zaman.
Suara Indonesia tampil di tengah tuntutan yang lebih keras dari negara-negara berkembang. Tuntutan untuk melakukan pembenahan pada beberapa lembaga keuangan terpenting di dunia, berikut tata kelolanya, makin meluas, seiring makin dalamnya kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang.
Acara tambahan dalam UNGA berupa Dialog Tingkat Tinggi mengenai Pembiayaan Pembangunan, yang dilaksanakan empat tahunan itu, adalah salah satu acara yang paling penting. Dalam acara tersebut, negara-negara di seluruh dunia membahas aliran dana, termasuk pendanaan untuk pembangunan berkelanjutan.
Salah satu topik paling hangat dalam diskusi adalah kesenjangan pendanaan, tuntutan perbaikan agar mengurangi kerentanan negara-negara berkembang terjebak dalam krisis utang, dan seperti yang dijelaskan oleh Sekjen PBB Antonio Guterres sebagai “momen Bretton Woods baru”.
Sistem manajemen moneter Bretton Woods dibentuk setelah Perang Dunia II pada 1944. Tujuannya untuk menjaga stabilitas nilai tukar mata uang internasional melalui lembaga-lembaga, terutama Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund atau IMF), dan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization atau WTO).
Menurut situs web IMF, sistem ini bubar antara tahun 1968 dan 1973. Namun, tetap saja sistem ini dikritik karena selama beberapa dekade dianggap bersikap bias, dengan hanya memihak negara-negara tertentu, dan dampaknya masih berlanjut hingga saat ini.
“Tatanan ekonomi global saat ini merupakan sisa dari arsitektur pascaperang yang menguntungkan sebagian besar negara-negara industri. [...] Institusi Bretton Woods harus direformasi,” kata Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pada dialog. Menteri Retno mengatakan bahwa hanya dengan memperbaiki situasi dan menciptakan lingkungan yang “kondusif”, maka negara-negara Selatan dapat mengembangkan dan memajukan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs). Sejauh ini, kemajuan SDGs dinilai lambat.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.