atusan jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor, Jawa Barat, yang mungkin sudah kelelahan setelah 15 tahun memperjuangkan kebebasan beribadah, akhirnya menerima tawaran walikota untuk membangun gereja baru di lokasi yang berjarak hanya 1,5 kilometer dari lokasi awal yang jadi sumber perdebatan.
Untuk pertama kali setelah penantian bertahun-tahun, mereka akhirnya bisa berkumpul di gereja baru, kini namanya GKI Bogor Barat, melaksanakan kebaktian Minggu Paskah pada 9 April lalu. Gereja tersebut diresmikan dengan meriah. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian hadir dalam peresmian.
Kehadiran dua menteri yang berpengaruh kuat tampak menunjukkan komitmen negara terhadap perlindungan pada kebebasan beragama. Sayangnya, kelambanan negara untuk bertindak jugalah yang merampas hak konstitusional jemaat GKI Yasmin untuk beribadah. Mereka telah memenuhi semua persyaratan membangun gereja pada 2006, tetapi tidak bisa mereka lakukan karena ada penentangan, jika tidak ingin disebut intimidasi, dari kelompok muslim garis keras.
Bahkan ketika Mahkamah Agung dalam putusan peninjauan kembali telah memenangkan pihak GKI Yasmin, negara -dalam kasus ini adalah walikota Bogor dan pemerintah pusat- lagi-lagi mengecewakan kelompok agama minoritas. Mereka tidak sanggup menghadapi oknum agama mayoritas yang banyak cakap dan intoleran.
Walikota Bima Arya, berusaha menyelesaikan konflik yang ada sejak masa pimpinan pendahulunya, Dani Budiarto, menyatakan penyesalan atas ketidakmampuannya menyelesaikan friksi. Tentu saja dia memuji kebesaran hati para jemaat yang menerima relokasi gereja sebagai akhir bahagia.
Namun, tidak semua orang gembira dengan akhir dari huru hara soal gereja ini. Peresmian gereja baru tersebut seperti memecah belah umat. Sebagian yang menolak relokasi menyebut bahwa kesepakatan yang dimediasi pemerintah Kota Bogor itu adalah bentuk kompromi yang buruk.
Bima seperti mengekor pendahulunya yang takluk pada tekanan kelompok Islam garis keras. Kelompok intoleran inilah yang sejak awal tidak ingin jemaat GKI Yasmin membangun gerejanya di tanah pilihan mereka. Mereka yang menuntut relokasi.
Bentuk dukungan pemerintah pada kompromi semacam itu bisa menjadi preseden buruk bagi penyelesaian konflik terkait pelaksanaan kebebasan beragama di wilayah lain di Tanah Air. Alih-alih mengakhiri aksi intoleransi, solusi seperti yang terjadi pada kasus GKI Yasmin hanya akan memicu lebih banyak kasus.
Ada banyak kelompok agama minoritas di seluruh nusantara yang tidak dapat memenuhi impian mereka untuk membangun rumah ibadah, hanya karena pemerintah bersikeras menjalankan SKB 2 menteri yang sudah usang. Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tersebut mematok standar tinggi bagi kelompok minoritas dalam menjalankan keyakinan mereka. Tak satu pun dari lima presiden setelah gerakan Reformasi berhasil merombak peraturan yang pada praktiknya mendiskriminasi pemeluk agam minoritas.
Kasus GKI Yasmin juga menegaskan bahwa ketidakpastian hukum masih menjadi persoalan kronis di Indonesia, padahal negara ini mengaku menjunjung tinggi supremasi hukum. Mengapa pemerintah, baik di tingkat daerah maupun pusat, tidak mengindahkan putusan Mahkamah Agung yang sudah final dan mengikat, hanya untuk memuaskan kelompok yang punya agenda terselubung berkedok agama?
Pemerintah mungkin telah menumpas kelompok-kelompok radikal dan intoleran seperti Front Pembela Islam (FPI). Namun, penegakan hukum yang tidak konsisten, atau bahkan tidak bisa ditegakkan sejak awal, hanya akan mendorong kelompok intoleran lain ikut-ikut unjuk gigi. Salah satu ujian bagi penegakan hukum dihadapi polisi di Lampung, yang menghadapi tekanan dari kelompok Muslim untuk membebaskan ketua RT mereka yang ditangkap gara-gara membubarkan kebaktian di suatu hari Minggu.
Bangsa ini sangat membanggakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, mengaku berbeda-beda tapi satu jua. Namun masih saja harus susah payah menggemakan toleransi beragama sebagai landasan dasar masyarakat majemuk. Kita harus angkat topi bagi kerja kelompok masyarakat seperti Setara Institute, yang mengeluarkan peringkat toleransi kota dan kabupaten di seluruh negeri secara berkala. Indeks semacam itu penting untuk mengukur kinerja kita di sisi sensitif ini.
Indeks toleransi kota Bogor telah membaik, antara lain berkat solusi dalam mengatasi kebuntuan GKI Yasmin. Namun, kita harus mewaspadai banyak kasus lain yang masih mandek. Jangan lupa bahwa tahun depan politik identitas berpotensi kembali, menjelang pemilu. Hal itu bisa menggerus kemajuan yang sudah kita raih dalam menegakkan toleransi beragama.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.