ika sejarah benar-benar terulang, 25 tahun setelah kejatuhan Orde Baru kita bisa saja memiliki seorang pemimpin kuat yang menjalankan roda politik serta memerintah dengan tangan besi.
Dua puluh lima tahun setelah gerakan reformasi, bisa dipastikan kita tidak hidup di bawah rezim otoriter. Justru kita akan mengadakan pemilihan presiden secara langsung tahun depan, yang menjadi pemilu langsung kelima dalam 20 tahun terakhir. Dan dengan 17 partai politik yang bersaing ketat di pemilihan legislatif 2024, bisa dipastikan prospek demokrasi (elektoral) masih aktif berjalan.
Namun, jika sejarah tidak berulang, seringkali kondisi masa lalu terjadi lagi kini.
Soeharto, orang kuat Orde Baru, serta aparat politiknya, mungkin sudah lama tidak ada. Akan tetapi, hari-hari terakhir ini kita bisa merasakan bahwa ada beberapa ide, aksi, dan alat yang pernah digunakan Soeharto sedang didaur ulang, diperbarui lalu digunakan kembali oleh beberapa orang di pucuk pemerintahan.
Tahun lalu, ramai didiskusikan usulan memperpanjang masa jabatan presiden petahana. Padahal menurut konstitusi, jabatan presiden hanya boleh selama dua periode. Argumen perpanjangan masa jabatan adalah bahwa pemerintah petahana dapat mengganti periode yang dianggap hilang akibat pandemi COVID-19.
Dorongan keras dari masyarakat sipil dan partai politik tentu saja berhasil memaksa elite politik untuk tidak melaksanakan usulan tersebut. Namun hasil Pilpres 2024 dipastikan akan dipengaruhi kompromi yang dicapai setelah perdebatan soal masa jabatan presiden.
Di sisi lain, seandainya batas masa jabatan presiden, yang merupakan salah satu hadiah terbesar sekaligus bukti nyata gerakan reformasi, tidak lagi dilaksanakan, pencapaian lain yang dibuat dalam 25 tahun terakhir bisa jadi akan dinegosiasikan.
Beberapa partai politik besar mengusulkan untuk mengubah format pemilihan legislatif dengan meniadakan sistem proposional terbuka. Dalam sistem ini, pemilih akan melihat daftar calon legislatif, sehingga memungkinkan para pemilih mengkritisi bahkan menolak calon yang diajukan oleh partai politik.
Partai-partai besar seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berupaya mengembalikan proses pemilu legislatif menjadi persis yang dilakukan rezim Orde Baru, yaitu sistem proporsional tertutup. Artinya, para pemilih hanya akan mencoblos nama partai. Kemudian, partai yang memutuskan calon yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebuah petisi untuk mengubah sistem proporsional terbuka sedang ditinjau oleh Mahkamah Konstitusi. MK mendapat banyak tekanan politik, sehingga dikhawatirkan peraturan yang saat ini digunakan tersebut akan diamandemen.
Kekuatan jahat lain yang menggerogoti reformasi adalah digoyangnya gerakan pemberantasan korupsi.
Amandemen UU No. 30/2002 tahun 2019 telah membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi tidak efektif. Padahal UU tersebut adalah salah satu yang paling progresif yang disahkan selama era reformasi.
Amandemen menghasilkan berbagai ketentuan baru dalam UU KPK, mulai dari menghentikan penyidikan dan membatalkan tuntutan, hingga mengangkat penyidik sebagai pegawai negeri. Akhirnya, KPK hanyalah lembaga penegak hukum biasa seperti Polri atau Kejaksaan Agung.
Padahal di masa jayanya, KPK terkenal karena penangkapan menteri atau politisi senior. Sedangkan saat ini, masyarakat jadi berspekulasi bahwa KPK punya agenda khusus untuk menjaga keseimbangan politik menjelang pemilihan presiden 2024.
Situasi akan makin buruk jika inisiatif mengubah Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) disetujui. Lagi-lagi, UU tersebut adalah salah satu permata dari gerakan reformasi. Kenyataannya, divisi hukum TNI sedang menyusun perubahan undang-undang yang memungkinkan prajurit TNI punya partisipasi politik yang lebih besar.
Semua hal di atas adalah kemunduran. Namun, betapa pun parahnya, kita tidak boleh apatis. Bahkan, kita harus manfaatkan semuanya sebagai peringatan untuk menolak setiap upaya membatalkan kemajuan gerakan reformasi.
Bagaimana pun, selalu ada harapan bahwa Indonesia bisa menjadi lebih baik.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Thank you for sharing your thoughts.
We appreciate your feedback.