residen Joko “Jokowi” Widodo adalah pemegang kartu anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan dia secara konsisten digambarkan oleh pendiri partai sebagai “petugas partai” yang ditugaskan untuk memimpin bangsa.
Padahal, sungguh tidak tepat mengatakan bahwa Jokowi sekadar alat partai, karena dia adalah orang paling berkuasa di negara ini, tanpa lembaga apa pun. Setidaknya dalam tujuh tahun terakhir masa jabatannya, Presiden Jokowi telah berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan tidak hanya di dalam PDI-P, tetapi juga di dalam koalisi yang berkuasa yang menopang pemerintahannya.
Sejatinya, Jokowi bukan hanya milik PDI-P. Agar lancar menjalankan tugas sebagai presiden, ia harus bekerja sama dan berunding dengan enam fraksi lain di DPR yang mendukung pemerintahannya. Memang, lima di antaranya, seperti PDI-P, adalah pendukungnya sehingga ia bisa maju saat pemilihan presiden yang lalu.
Sejak tahun 2004, presiden Indonesia tidak dipilih oleh partai politik. Melalui pemilihan langsung, rakyat Indonesia memilih presiden. Dan Jokowi memenangkan suara terbanyak, hingga secara teknis, sebetulnya Jokowi bukan lagi “petugas partai” tapi “petugas rakyat”. Bagaimanapun, para pemilih, yaitu rakyat, yang memberinya mandat untuk memimpin bangsa pada 2014 dan 2019.
Saat ini, peringkat persetujuan Jokowi di atas 80 persen, karena itu, Presiden sangat yakin dengan kekuatan politiknya. Pasukan relawannya siap bergerak, mendukung kandidat mana pun yang mereka anggap layak dipertimbangkan sebagai pengganti Jokowi.
Popularitas pribadi Jokowi menjadi persoalan dalam sistem politik yang didominasi partai politik. Menjelang Pilpres 2024, Presiden berupaya menggunakan pengaruhnya untuk menggiring partai-partai pendukungnya, termasuk PDI-P, pada pengganti yang ia pilih. Pasti tidak semua orang nyaman menghadapi sikapnya yang unik. Namun terlepas dari kelebihan atau kekurangannya, Jokowi telah menetapkan preseden yang jelas tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan seorang presiden ketika berhadapan dengan partai politik, bahkan termasuk partainya sendiri.
Pertanyaan yang kini dilontarkan oleh para pemilih, bahkan mungkin ditanyakan juga oleh Jokowi sendiri, adalah mampukah penggantinya hadir penuh percaya diri dan punya ketetapan hati ketika harus berhadapan dengan partai politik, terutama partai yang menaungi?
PDI-P menegaskan supremasinya dengan melabeli calon presidennya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, sebagai "petugas partai". Ganjar berhasil meraih predikat tersebut setelah menunjukkan loyalitasnya pada PDI-P dengan menolak keikutsertaan Israel dalam ajang sepak bola yang rencananya akan diselenggarakan oleh Indonesia. Itulah jalur resmi yang digunakan partai.
Beberapa menyebut bahwa Presiden begitu khawatir dengan pengaruh besar PDI-P terhadap Ganjar, sehingga Presiden enggan mengangkat politikus berambut putih itu sebagai penggantinya. Dalam pidatonya saat Musyawarah Rakyat (Musra) awal bulan ini, Presiden justru mengingatkan para pendukungnya untuk berhati-hati memilih pemimpin.
Dia menyoroti pentingnya memilih pemimpin yang berani. Salah satu pendukung menafsirkan pernyataan Jokowi sebagai penghinaan terhadap Ganjar sekaligus seruan kepada Prabowo Subianto. Mantan pesaing Jokowi dalam pemilu lalu tersebut saat selalu menggambarkan diri sebagai penjaga warisan Presiden.
Saat ini memang terlalu dini untuk menilai apakah Ganjar dapat memenuhi standar yang ditetapkan Jokowi, atau dia akan sekadar jadi perwujudan “petugas partai” yang patuh seperti yang selalu ada di benak pemimpin PDI-P Megawati Soekarnoputri, juga di pikiran lawan politiknya.
Harapan publik sudah jelas. Memang penting bahwa seorang calon presiden mewakili cita-cita partai politiknya, yang tentu berhubungan dengan keberhasilan programnya. Namun, wajar jika para pemilih mengharapkan presiden akan dilihat sebagai pemimpin bangsa, pemimpin untuk semua, dan bukan hanya sekadar petugas bagi partainya sendiri.
Pepatah lama yang cocok untuk ini adalah, loyalitas kepada partai berakhir saat loyalitas kepada negara dimulai. Itulah tantangan bagi semua calon presiden.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.