TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Negarawan atau politisi?

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Fri, June 2, 2023

Share This Article

Change Size

Negarawan atau politisi? President Joko “Jokowi“ Widodo (right), accompanied by Defense Minister Prabowo Subianto (left) and Central Java Governor Ganjar Pranowo, inspects a rice harvest in Lajer village, Kebumen regency, Central Java, on March 9. (Presidential Secretariat's Press Bureau/Laily Rachev)
Read in English

W

ajar jika presiden yang akan usai masa jabatannya memiliki preferensi terkait penggantinya, demi kelangsungan kebijakan yang sudah ia susun. Namun, akan muncul masalah jika presiden mencoba menentukan jalannya pemilihan, yang seharusnya berjalan secara demokratis menurut konstitusi.

Dalam kasus Presiden Joko “Jokowi” Widodo, dukungan yang nyata, jika bukan dorongan untuk memilih, yang ditujukan pada calon presiden seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Prabowo Subianto dari Partai Gerindra seharusnya tidak menjadi masalah besar. Jokowi mengenal dan telah bekerja dengan kedua tokoh tersebut, sehingga pasti punya firasat bahwa mereka akan mempertahankan hasil kerja Presiden serta menyelesaikan hal-hal yang belum beres saat ia mengakhiri masa jabatan pada Oktober tahun depan.

Jokowi juga bisa mengusulkan cawapres yang menurutnya paling cocok dengan calon presiden dan bisa membantu mereka memenangkan pemilihan presiden. Dalam suatu kesempatan, Presiden secara terbuka menyebutkan beberapa kemungkinan calon wakil presiden untuk Ganjar, antara lain Prabowo; Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir; Menko Polhukam Mahfud MD; dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno.

Tetapi preferensi semacam itu harus tetap menjadi sekadar saran, bukan keharusan, karena partai politik adalah satu-satunya lembaga yang punya hak konstitusional untuk mencalonkan calon presiden dan calon wakil presiden. Jokowi tidak boleh memaksakan kehendaknya pada pemilih apalagi merekayasa pemilihan untuk mengunggulkan kandidat yang ia dukung.

Presiden telah dikritik karena melakukan manuver yang oleh para pengkritiknya disebut cawe-cawe, Bahasa Jawa untuk menyebut “campur tangan”, dalam pemilu 2024. Pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) – serta aliansi Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) – tidak dapat dilepaskan dari upaya Jokowi memastikan agar pemilu 2024 berjalan sesuai keinginannya.

Kritikus, termasuk koalisi yang mendukung pencalonan mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan, yang membangun citra sebagai antitesis Jokowi, menuduh Presiden melanggar prinsip netralitas. Padahal prinsip tersebut harus ditegakkan untuk memastikan pemilu yang bebas dan adil.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Dalam pertemuan tertutup dengan pimpinan media, pada Senin lalu (29 Mei), Jokowi membela diri dengan mengatakan bahwa yang ia lakukan adalah untuk kepentingan bangsa dan tidak melibatkan aparatur negara. Namun apa pun motif dan pembenarannya, intervensi dalam pemilu oleh orang yang paling berkuasa di negeri ini akan membahayakan demokrasi.

Pertama-tama, mencampuri proses pemilu bertentangan dengan tanggung jawab Presiden untuk melindungi legitimasi pemilu. Setiap upaya, apa pun cara yang digunakan, untuk menghalangi proses demokrasi merupakan pelanggaran berat terhadap nilai-nilai dasar masyarakat kita.

Kedua, presiden yang akan usai masa jabatannya harus menahan diri dari campur tangan dalam pemilihan hanya untuk menjamin kelancaran proses alih kekuasaan. Peralihan kekuasaan secara damai sudah menjadi ciri demokrasi. Karena itu Jokowi cukup memastikan pemilu mendatang sudah mewakili keinginan rakyat.

Sebagai kepala negara, Presiden bertanggung jawab untuk memastikan pemilu 2024 membukakan kesempatan yang sama bagi semua calon. Intervensi Jokowi dapat mematikan persaingan sehat, yang akan menghilangkan kesempatan rakyat Indonesia untuk memilih kandidat terbaik.

Opini publik pun mengisyaratkan Jokowi harus menghentikan manuver yang hanya mementingkan kebutuhannya sendiri dalam mencari pengganti Presiden yang sesuai. Sebuah survei oleh Litbang Kompas, yang mensurvei 506 orang antara 9 dan 11 Mei, mendata bahwa 90,3 persen responden setuju bahwa Jokowi tidak boleh berpihak. Namun, jumlah responden yang menilai Jokowi benar-benar netral dan yang menyebut Jokowi berpihak masih berimbang, sekitar 50-50.

Sudah jelas pilihan bagi Jokowi. Jika dia ingin orang mengingatnya sebagai negarawan hebat, dia harus berhenti mencampuri proses demokrasi. Jika dia terus cawe-cawe, bisa saja dia akan masuk dalam buku sejarah hanya sebagai politisi yang haus kekuasaan.

 

 

 

 

 

 

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.