eperti mantan presiden Soeharto, Presiden Joko “Jokowi” Widodo adalah pemimpin berdarah Jawa yang luar biasa. Dia bisa kejam dalam menunjukkan kekuatan. Tapi tidak sekali pun pernah sengaja berkonfrontasi atau mengungkapkan permusuhan pada lawan-lawannya.
Sikap seperti itu menjadi norma dalam budaya politik Jawa. Bukan hal yang aneh bagi para pemimpin Jawa untuk berbicara menggunakan bahasa kiasan. Mereka bisa menyampaikan pemikiran mereka dengan makna ganda dalam lelucon. Oleh karena itu, sulit untuk memahami cara berdiam-diam tanpa komunikasi yang dipertontonkan Presiden Jokowi dan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri.
Keduanya dikabarkan bersitegang soal suksesi jika masa jabatan Jokowi berakhir pada Oktober 2024. Bagi Megawati, jawabannya jelas: Dia sudah mengajukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Jokowi, sebagai anggota PDI-P, harus mengikuti arahan partai.
Tetapi politik tidak selalu linier. Mungkin benar, Jokowi tak pernah mempersoalkan anjuran Megawati. Ia bahkan menghadiri jumpa pers deklarasi pencalonan Ganjar sebagai bentuk dukungan terhadap keputusan partai. Namun, Presiden juga telah memberikan sinyal bahwa dia tidak sepenuhnya senang pada pilihan partai.
Menurut orang-orang yang dekat dengan Jokowi, termasuk para elit yang masuk dalam kelompok “sukarelawan” militannya, Presiden tersinggung karena tidak dilibatkan dalam seluruh proses pencalonan Ganjar. Dia bahkan hanya diberitahu tentang acara tersebut pada menit-menit terakhir.
Namun, masalah terbesar dengan keputusan mengejutkan yang dibuat Megawati tersebut adalah kenyataan bahwa pencalonan Ganjar memperumit upaya Jokowi untuk menciptakan aliansi “big tent” untuk mengalahkan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Jokowi meyakini Anies akan merusak semua hasil kerjanya selama ini. Singkatnya, Megawati, yang telah berpengalaman jadi raja, menyabotase upaya Jokowi mencetak raja baru.
Jokowi dikatakan lebih menyukai mantan saingan yang sekarang menjadi Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto. Ia ingin Prabowo dipasangkan dengan Ganjar, sehingga membuka jalan bagi aliansi untuk bisa bersatu dalam pemilu mendatang. Namun, kecil kemungkinan PDI-P, partai penguasa terbesar di negara ini, akan mempertimbangkan skenario tersebut.
Ketegangan yang terjadi di antara kedua tokoh politik tersebut sulit disembunyikan. Mereka terlihat bersaing membentuk raja sejati untuk pemilihan 2024.
Kedua pemimpin telah menepis anggapan bahwa hubungan mereka sedang renggang. Megawati telah mengatakan bahwa dia tidak memiliki kekuatan untuk menekan Jokowi. Namun, saat mengklarifikasi desas-desus keretakan, pemimpin PDI-P itu lebih terdengar menggurui ketimbang mengakui kehebatan politik Jokowi. “Bagaimana saya bisa menekan [pada Jokowi]? Dia, Pak Jokowi, bisa mengamuk. Anda bisa melihat pasukannya banyak. Saya begini, tidak punya banyak pasukan,” katanya kepada wartawan di sela-sela rapat kerja partai pekan lalu.
Untuk menunjukkan dukungannya kepada Ganjar dan kesetiaannya kepada Megawati, Jokowi memuji calon presiden dari partai yang menaunginya tersebut dengan menyebutnya sebagai sosok yang “berani”. "Untuk pemimpin masa depan seperti Pak Ganjar Pranowo, kualitas nomor satu adalah dia punya nyali. Keberanian jadi nomor satu, dan saya lihat Pak Ganjar punya kualitas itu," kata Jokowi.
Pilihan kata-katanya itulah yang memicu spekulasi apakah Jokowi benar-benar bersungguh-sungguh memuji. Pengikut Jokowi yang mendukung Prabowo sering mempertanyakan kemampuan Ganjar untuk melawan Megawati. Sementara Jokowi sering melakukannya dalam masa kepresidenannya. Di media sosial, pendukung Prabowo menyerang Ganjar sebagai “petugas partai” dan “presiden boneka”.
Pada titik ini, semua hanya spekulasi. PDI-P belum memutuskan pasangan Ganjar. Eksekutif partai Puan Maharani telah menyebut hampir semua tokoh yang memenuhi syarat, dari Ketua Partai Golkar Airlangga Hartarto hingga bos Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai calon potensial. Singkatnya, siapa saja bisa jadi pasangan Ganjar.
Bagaimanapun, kita tidak bisa mengesampingkan anggapan bahwa perebutan kekuasaan antara Jokowi dan Megawati semakin memperumit pemilihan pengganti presiden. Sementara dinamika elit selalu menjadi bagian dari politik, kita tidak bisa membiarkan konflik elit menghambat proses demokrasi untuk menemukan pemimpin nasional berikutnya.
Tentu, pemilih perlu mengetahui siapa yang nantinya bisa dipilih. Masyarakat membutuhkan lebih banyak waktu untuk mempertimbangkan para kandidat yang tampil dan membuat keputusan yang tepat pada hari pemilihan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.