ita tidak perlu membesar-besarkan soal seberapa serius tuduhan Indoleaks, terkait kemungkinan pemerintah menggunakan perangkat lunak berbahaya -atau spyware- secara ilegal untuk mengawasi masyarakatnya sendiri.
Sudah jamak bagi negara modern untuk memiliki alat pengawasan demi menjaga keamanan. Teknologi membuat dunia makin sempit, dan setiap hari muncul ancaman keamanan siber terkini. Artinya, tiap hari ada masalah baru. Inilah pentingnya negara punya teknologi yang bisa mengatasi segala perkara.
Namun, menjalankan pengawasan bukan berarti pemerintah bebas melanggar hak privat warganya. Harus ada aturan jelas yang menata teknologi pengawasan yang makin hari makin canggih dan hebat, sekaligus makin rentan disalahgunakan.
Laporan Indoleaks sesungguhnya tidak mengherankan. Lembaga think tank CitizenLab yang berbasis di Toronto, pada 2016 sudah pernah mengemukakan kecurigaan bahwa pemerintah menggunakan program spyware untuk mengintai warganya. Yang dibahas oleh CitizenlLab adalah FinFisher, spyware buatan Lench IT Solutions yang biasa digunakan oleh rezim represif.
Menurut CitizenLab, National Crypto Institute atau Lembaga Sandi Negara, yang lalu menjadi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada 2017, adalah klien spyware tersebut. Badan tersebut menggunakan server Australia untuk menyamarkan operasi pengawasannya di Indonesia.
Selain FinFisher, pemerintah Indonesia dituduh menggunakan dua program spyware kuat lainnya yaitu Predator dan Circles.
Dari laporan CitizenLab, tampak bahwa server yang diyakini menjalankan Circles adalah milik PT Radika Karya Utama. Perusahaan teknologi tersebut memegang setidaknya dua kontrak untuk pengadaan “sistem intrusi tanpa klik” bagi Kepolisian RI. Polisi, menurut laporan IndoLeaks, mengklaim telah menggunakan teknologi zero-click untuk tujuan keamanan, tetapi menolak mengkonfirmasi spyware yang digunakan, apakah Predator, Circles atau Pegasus.
Analisis IndoLeaks condong merujuk bahwa aparatur negara sudah menggunakan Pegasus setidaknya sejak 2018. Spyware zero-click Pegasus yang diproduksi oleh NSO Group terkenal ampuh. Bukan rujukan tanpa dasar, karena Indoleaks telah menemukan bukti yang dicurigai sebagai nota pengiriman peralatan jaringan dari perusahaan induk NSO Q Cyber Technologies ke Indonesia via London.
NSO Group dan perusahaan spyware internasional lainnya mengklaim bahwa mereka hanya menjual produk kepada lembaga pemerintah, dan semata-mata untuk tujuan keamanan dan keselamatan publik. Namun, organisasi hak asasi manusia telah menemukan bahwa spyware telah digunakan oleh pemerintah represif untuk melacak aktivis dan kelompok oposisi agar suara-suara kritis mereka dapat ditekan.
Anggota Komisi Keamanan DPR Effendi Simbolon mengatakan kepada Tempo pada 2020 bahwa negara menggunakan Pegasus untuk memburu kelompok teroris selama Operasi Tinombala di Poso, Sulawesi Tengah, pada 2016. Kantor berita Israel Haaretz juga melaporkan pada 2018 bahwa Pegasus digunakan di Indonesia untuk pengawasan terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ).
Adalah kenyataan yang sangat memprihatinkan mengetahui bahwa demokrasi Indonesia telah runtuh selama beberapa tahun terakhir. Info terbaru IndoLeaks menunjukkan bahwa lembaga penegak hukum kita, yang mudah terpengaruh kepentingan politik atau kerja sama yang sifatnya oligarkis, terus meningkatkan kapasitasnya dalam memata-matai warga.
Kita harus menuntut pemerintah agar transparan tentang legalitas, jenis, dan lingkup penggunaan spyware. Pertanyaan kunci yang muncul dari pengungkapan IndoLeaks adalah apakah hak-hak sipil kita telah diinjak-injak. Lagi pula, kita harus waspada jika alat-alat tersebut akan digunakan dalam upaya mempengaruhi masyarakat saat pemilu 2024.
Mari menyerukan agar para pembuat kebijakan secara ketat dan transparan mengatur penggunaan program hebat ini, agar tidak ada penyalahgunaan. Para perusahaan pemegang kontrak penggunaan juga harus diaudit. Teknologi spyware berkembang secara canggih, karena itu perlu ada regulasi yang kuat sejak sekarang.
Tanpa transparansi, dan lebih-lebih tanpa regulasi, artinya kita membiarkan semua warga negara memasuki dunia yang carut-marut.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.