i bawah jajaran pemimpin yang sekarang aktif, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang banyak menuai kritik. Namun, institusi antisuap itu tetap layak mendapat dukungan publik saat upayanya menegakkan hukum mendapat tentangan, bahkan intimidasi, dari lembaga pemerintah yang lain.
Masa depan perjuangan kita melawan korupsi akan ditentukan oleh cara kita sebagai warga negara menghadapi ketegangan antara KPK dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terjadi saat ini. Hubungan KPK dan TNI jadi sorotan sejak terjadi penangkapan dua perwira aktif TNI terkait dugaan penyelewengan dana negara di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) .
Sebagai bagian dari reformasi besar-besaran untuk membawa Indonesia keluar dari otoritarianisme, negara menetapkan agenda pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tujuan tersebut dilembagakan menjadi KPK. Sejak KPK berdiri pada 2004, ratusan pejabat publik di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta pengusaha, telah diadili karena korupsi. Beberapa di antara mereka adalah polisi dan tentara.
Reformasi juga mengakhiri peran sosial politik lembaga militer, dan mengembalikan pada tugas utamanya untuk fokus pada pertahanan saja. Dapat dipahami jika mandat baru tersebut menyulitkan TNI, mengingat selama lebih dari 30 tahun, ada dwifungsi TNI, peran ganda di militer maupun sipil, yang memungkinkan institusi tersebut berkuasa di berbagai lini.
TNI pantas dipuji, karena menyetujui reformasi tanpa keberatan berlebihan dan secara umum menghormati supremasi sipil. Namun, kemajuan reformasi akan lebih mulus jika TNI menerima usulan revisi UU Peradilan Militer 1997, yang memungkinkan pengadilan negeri mengadili perwira TNI aktif yang terlibat tindak pidana. Sejak awal era reformasi 1998, segala upaya perubahan undang-undang terhenti karena penolakan TNI.
UU 1997 inilah yang memicu konflik antara KPK dan TNI. KPK membenarkan penangkapan Kepala Basarnas Wakil Marsekal Udara Henri Alfiandi dan ajudannya Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto sesuai pasal-pasal UU Tipikor. Sementara itu, TNI bersikeras memaksakan penggunaan UU Peradilan Militer. KPK menetapkan dua pejabat itu sebagai tersangka pada 26 Juli.
Kemudian, pada Jumat, Kepala Polisi Militer Marsekal Muda Agung Handoko dan rombongan perwira TNI, semua berbaju loreng seolah hendak maju perang, mengunjungi markas KPK di Jakarta. Usai pertemuan, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak meminta maaf kepada TNI secara terbuka.
Pada Senin, Wakil Ketua KPK lainnya, Nuruf Ghufron, mengatakan bahwa sejumlah pejabat KPK mendapat ancaman dan intimidasi. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang mengumumkan keputusan KPK soal penetapan dua tersangka perwira TNI Angkatan Udara itu menerima dua karangan bunga dari pengirim misterius. Salah satu karangan bunga disertai pesan, “Selamat, Pak Alexander Marwata, Anda berhasil masuk tanpa izin ke halaman tetangga.”
Ini bukan kali pertama KPK menghadapi perlawanan dari lembaga negara dalam upaya penegakan hukum. Pada Oktober 2012, personel polisi bersenjata, termasuk anggota Densus 88 Antiteror, mengepung kantor KPK di Jakarta Selatan untuk menangkap penyidik KPK Novel Baswedan. Upaya penangkapan itu terjadi setelah Novel memanggil dan menginterogasi mantan Kapolri Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka.
KPK dan TNI telah mencapai kompromi dalam kasus Basarnas kemarin. Namun, kita tetap boleh cemas bahwa tindakan TNI akan merusak semangat antikorupsi negara. Militer akan mengambil alih penyidikan terhadap Henri dan Afri, sementara KPK yang kalah dalam kesepakatan itu akan fokus menyelidiki pengusaha Mulsunadi Gunawan. Mulsunadi diduga menyuap Henri dan Afri senilai hampir Rp1 miliar ($ 66.113 dolar Amerika) karena menjadi perantara proyek.
Menanggapi kontroversi terkait KPK dan TNI, Presiden Joko “Jokowi” Widodo berjanji akan mengkaji ulang kebijakan pemerintah yang mengizinkan perwira aktif TNI mengisi jabatan sipil. Ada 10 jabatan yang diperbolehkan dijabat oleh perwira aktif TNI, menurut UU TNI tahun 2004, termasuk kepala Basarnas. Dan para perwira dalam jabatan tersebut harus mematuhi norma-norma sipil.
Inisiatif Presiden memang penting, tapi belum cukup. Demi kesetaraan di hadapan hukum dan kepastian legal, UU Peradilan Militer harus direvisi sekarang. Ketidakjelasan yang ditimbulkan UU Peradilan Militer tidak hanya menghambat reformasi militer tetapi juga menghalangi upaya negara untuk menegakkan supremasi hukum.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.