ilakan luangkan waktu menjenguk pameran foto yang diselenggarakan dalam peringatan 40 tahun The Jakarta Post. Pameran akan berlangsung hingga minggu kedua bulan Agustus. Pastikan setelah melihat semua foto yang dipamerkan, saat melangkah keluar, tengoklah ke belakang, lihatlah gapura yang didirikan di ruang pameran.
Dibingkai oleh lengkungan gapura tersebut, digantung di dinding merah, terdapat satu-satunya foto mantan presiden Soeharto yang dipamerkan. Dia diabadikan saat sedang berada dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bulan Maret 1998, saat MPR bersiap mengangkatnya untuk masa jabatan lima tahun berikutnya.
Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya hanya beberapa bulan setelah foto itu diambil. Saat itulah Indonesia memasuki Era Reformasi, dengan janji demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Tapi siapa pun yang cukup umur untuk mengingat suatu bulan di tengah tahun 1998 tersebut, kemudian membandingkan dengan kondisi politik negara hari ini, tentu akan merasa kita masih hidup di bawah bayang-bayang Soeharto. Orang kuat itu seolah-olah masih hadir di antara kita.
Baru saja tahun lalu, masyarakat yang punya pengalaman 1998 menyaksikan upaya beberapa anggota elit politik untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Padahal secara konstitusional, masa jabatan Jokowi seharusnya berakhir tahun depan.
Kemudian ada lagi rencana mengembalikan sistem pemilu menjadi perwakilan proporsional daftar tertutup. Rencana diajukan partai politik terbesar Indonesia, yang seperti memutar waktu kembali ke sistem pemilu gaya Orde Baru. Dengan sistem begitu, elit partai punya kendali penuh menentukan nama-nama calon legislatif yang bisa masuk Dewan Perwakilan Rakyat.
Salah satu janji besar gerakan Reformasi, dan yang cukup berhasil dilaksanakan pada awal tahun 2000-an, adalah mengembalikan fungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke tugas utama mereka menjaga keamanan. Artinya, mereka tidak lagi terlibat dalam kehidupan politik masyarakat sipil.
Namun dalam lima tahun terakhir, kita melihat semakin banyak tentara yang aktif mengambil posisi sektor publik yang seharusnya diduduki warga sipil. Misalnya, mereka memimpin gugus tugas COVID-19 hingga mengepalai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Akhir bulan lalu, kita saksikan tentara berseragam militer masuk ke markas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka menuntut pembatalan tuduhan korupsi terhadap dua perwira aktif TNI. Hal itu jadi contoh pengecualian politik yang tak terhitung jumlahnya, yang sekali lagi menormalisasi keterlibatan militer dalam politik.
Dan kini, saat negara bersiap memasuki siklus pemilu kelima setelah lengsernya Soeharto, tampaknya perjalanan Era Reformasi telah paripurna. Tokoh kunci di era Orde Baru, seorang jenderal militer yang pernah punya ikatan kekeluargaan dengan Soeharto, kini menjadi calon presiden 2024.
Kita mungkin ingin percaya bahwa tokoh politik saat ini akan tertib ikut aturan main dan mempertahakan sistem demokrasi yang berjalan. Namun, kita juga harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, yang bisa saja terjadi dengan cepat. Bagaimana pun, beberapa kejadian di regional akhir-akhir mengoyakkan harapan terjaganya demokrasi liberal yang sehat.
Di Thailand, pemenang pemilihan umum tidak hanya kehilangan kesempatan untuk memerintah. Partai tersebut sekarang nyaris mirip kaum buangan di negerinya sendiri.
Sementara di Kamboja, pemilu dirancang sedemikan rupa untuk memperkuat cengkeraman dinasti pemerintah yang telah berkuasa selama bertahun-tahun.
Tahun lalu, di Filipina, proses demokrasi justru mengembalikan kekuasaan menjadi dipimpin keluarga politik. Padahal, tiga dekade silam, pemerintahan keluarga tersebut digulingkan melalui sebuah gerakan kekuatan rakyat.
Sejarah memang berulang, dan seringkali sejarah punya selera humor yang kejam.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.