TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Bukan sekadar nostalgia

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Thu, August 24, 2023

Share This Article

Change Size

Bukan sekadar nostalgia President Joko “Jokowi” Widodo (left) and his host Mozambique President Filipus Nyusi wear traditional headbands as they attend the opening of the National Festival of Culture at Red Bulls Association Field in Maputo on Aug. 23, 2023. Jokowi was on his first African tour. (Antara/Press Bureau of Presidential Secretariat)
Read in English

Ada peluang baru terbuka di Afrika, dan Indonesia ingin ikut andil dalam liga.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo awal pekan ini memulai tur empat negara di Afrika, mengunjungi Kenya, Tanzania, dan Mozambik, sebelum tiba di Afrika Selatan untuk menghadiri KTT BRICS.

Saat berada di Johannesburg, Jokowi mungkin punya cukup waktu berjumpa para pemimpin negara-negara Afrika untuk menjajaki peluang ekonomi yang belum dimanfaatkan Indonesia. Namun, tujuan utama ia berada di sana adalah menyampaikan pidato sebagai ketua Indonesia di ASEAN pada tahun 2023.

Ini adalah kunjungan pertama Presiden RI ke Afrika, sejak ia mulai menjabat hampir sembilan tahun lalu. Beberapa pihak menilai ia terlalu lama menunda kunjungan ke benua tersebut, terutama mengingat pertautan sejarah Indonesia dengan Afrika.

Meski demikian, perjalanannya tampak direncanakan saksama, dengan mempertimbangkan perasaan kalangan negara-negara di Selatan yang kecewa bahwa forum multilateral saat ini didominasi oleh negara-negara kaya dari wilayah Barat. Itulah tema utama KTT BRICS.

Tahun lalu, Indonesia berhasil memimpin kelompok G20, dianggap sukses di tengah masa-masa sulit. Kesuksesan tersebut memberi Indonesia pengalaman penting mengenai kerja sama internasional yang terkena imbas perang Ukraina.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Melihat keengganan sejumlah negara Asia dan Afrika untuk ikut menekan Rusia, bisa disimpulkan dari forum G20 bahwa permainan geopolitik negara-negara Barat sering kali merugikan negara-negara berkembang di seluruh dunia.

Jokowi telah berpesan bahwa kunjungannya ke Afrika bertujuan untuk “memperkuat solidaritas di antara negara-negara Selatan”. Pesan itu merangkum urgensi isu solidaritas. Indonesia pun sudah langsung menuai manfaat berupa ekspansi ekonomi Indonesia ke pasar “nontradisional”.

Mengherankan bahwa pemerintahan Jokowi perlu waktu hampir satu dekade sebelum mewujudkan visi di atas. Padahal semestinya pemerintahan Jokowi bisa mencontoh yang dilakukan oleh China, yang telah jadi mitra utama benua Afrika dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.

Mungkin lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Namun, masih banyak pertanyaan mengenai pentingnya kawasan Afrika secara strategis bagi Indonesia.

Jika dilihat, 55 negara di Afrika sama-sama punya nilai setara. Berbondong-bondong mereka mengikuti gelombang Abad Afrika dan mendapatkan manfaat dari kawasan ekonomi yang diprediksi tumbuh pesat.

Negara-negara Afrika belum pernah semenarik sekarang. Selain China, negara-negara seperti Brasil, India, Jepang, Rusia, Turki, dan Amerika Serikat semua jelas-jelas menyatakan minat yang sama pada Afrika.

Bagi Indonesia, jelas ada ruang untuk berekspansi dan berbisnis di Afrika. Setidaknya seorang analis keuangan mengatakan bahwa benua ini punya potensi perdagangan bagi dunia usaha di Indonesia sebesar $4,6 miliar dolar Amerika. Namun, angka itu belum terealisasi, sebagian besar terhambat oleh tarif perdagangan yang tinggi. Dan kini setelah Jakarta serius menggarap hilirisasi mineral penting, membangun kemitraan dengan negara-negara Afrika yang punya cadangan melimpah jadi sangat mudah.

Satu-satunya yang perlu dilakukan pemerintah adalah menghidupkan kembali hubungan Indonesia dengan Afrika, dan menemukan cara untuk bersama-sama membangun pengalaman baru.

Secara historis, Indonesia sudah terpatri dalam benak banyak orang Afrika sebagai negara yang memicu dimulainya gerakan pascakolonial.

Sebagai pendiri sekaligus tuan rumah Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, Jawa Barat, Indonesia memimpin penyusunan “Semangat Bandung”. Deklarasi tersebut berisi 10 prinsip untuk mendorong hidup berdampingan secara damai. Semangat ini terangkum dalam konstitusi beberapa negara Afrika yang muncul pada saat itu, dan nama Sukarno sangat harum tercantum dalam buku-buku sejarah Afrika.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, ikatan formatif tersebut, juga Gerakan Non-Blok yang telah lama mewakilinya, sebagian besar hanya jadi nostalgia belaka.

Mujur bagi kita, kekecewaan yang senada pada status quo global bisa membuat Indonesia menghidupkan kembali persahabatan dengan negara-negara di benua Afrika. Tentu dengan kesamaan tekad demi otonomi strategis di dunia yang penuh ketidakpastian saat ini.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.