TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Stop polusi dari sumbernya

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Thu, August 31, 2023

Share This Article

Change Size

Stop polusi dari sumbernya Haze caused by air pollution rises above the Jakarta skyline on Aug. 25, 2023. (AFP/Yasuyoshi Chiba)
Read in English

B

erminggu-minggu telah berlalu sejak pemerintah mulai bekerja keras mengatasi polusi udara yang mencekik di Jakarta. Namun, hasilnya adalah polusi yang malah makin buruk, bukannya membaik.

Dua setengah minggu berlalu setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo memerintahkan jajarannya mengambil langkah-langkah untuk mengurangi polusi di Jakarta, dan kualitas udara di ibu kota tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan. Pada 14 Agustus, saat Presiden mengumpulkan para menteri, indeks kualitas udara (Air Quality Index atau AQI) Jakarta mencapai tingkat “tidak sehat” yang mengkhawatirkan yaitu 152. Angka tersebut menurut pantauan perusahaan teknologi Swiss IQAir. Alih-alih membaik, AQI Jakarta justru malah merosot menjadi 161, masih dalam kategori “tidak sehat” pada Rabu sore.

AQI yang “baik” berkisar antara 0 hingga 50, lalu kategori “sedang” ada pada 51-100, “tidak sehat untuk kelompok sensitif” adalah saat angkanya menyentuh 101-150, dan kemudian tingkat “tidak sehat” terjadi ketika angkanya 151-200. Setelahnya, ada dua tingkat lagi, salah satunya “sangat tidak sehat” (201-300). Jika AQI lebih dari 300, artinya udara sudah masuk kondisi “berbahaya”.

Bahkan pada tahun 2020, saat dilakukan pembatasan aktivitas masyarakat pada bulan-bulan awal pandemi COVID-19, kualitas udara Jakarta sudah ada pada kategori “tidak sehat untuk kelompok sensitif”.

Baik pemerintah pusat maupun pemerintah Jakarta telah berupaya keras untuk mengurangi polusi. Apalagi polusi kali ini tampaknya membuat Presiden sendiri merasa tidak enak badan, dan terjadi saat masa-masa persiapan Jakarta menjadi tuan rumah KTT ASEAN minggu depan. Upaya yang telah dilakukan pemerintah, antara lain memberlakukan sistem kerja jarak jauh, hingga penyemaian hujan buatan. Pihak berwenang bahkan telah menetapkan tersangka pembakaran terbuka dan beberapa usaha kecil tertutup karena diduga membakar limbah beracun. Semua dilakukan untuk memamerkan keseriusan pemerintah dalam memerangi polusi udara.

Namun, semua yang dilakukan di atas hanyalah sekadar solusi jangka pendek. Tujuan solusi tersebut hanyalah menyelamatkan muka negara ini saat menjamu para pemimpin ASEAN dan mitra dialog yang akan hadir di minggu depan.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Seharusnya mengatasi polusi adalah program jangka panjang, melampaui masa KTT ASEAN dan pertemuan-pertemuan penting lainnya. Kita perlu solusi komprehensif yang memastikan bahwa setiap orang dapat menghirup udara segar dan sehat. Bernapas, hak asasi manusia, sejauh ini diabaikan oleh pemerintah.

Namun, upaya penanggulangan yang tegas, memerlukan identifikasi dan pengakuan terhadap sumber polusi terbesar di Jakarta. Jawabannya masih diperdebatkan, terutama antara pemerintah dan aktivis lingkungan hidup. Namun bahkan Menteri Lingkungan Hidup pun telah sepakat bahwa dua sumber utama polusi adalah sektor transportasi dan energi. Sektor yang disebut terakhir mengacu pada pembangkit listrik tenaga batu bara yang terletak di sekitar ibu kota.

Di sisi lain, Menteri Perhubungan dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi terus mengimbau masyarakat untuk beralih dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik (Electric Vehicle atau EV) sebagai solusi. Mereka bahkan menawarkan subsidi kepada siapa pun yang membeli kendaraan listrik. Padahal, mendorong peningkatan penggunaan EV berarti mengabaikan fakta akan naiknya permintaan pengisian baterai. Pada akhirnya, semakin banyak EV hanya akan mendorong pembangkit listrik membakar lebih banyak batu bara guna menghasilkan lebih banyak listrik.

Akan lebih bijaksana jika pemerintah memprioritaskan subsidi dan insentif lainnya untuk mengembangkan angkutan umum, khususnya transportasi listrik. Pemerintah mungkin sudah banyak berinvestasi pada transportasi umum, tetapi buktinya, belum tersedia cukup banyak layanan transit yang aman dan nyaman bagi masyarakat di Jabodetabek, apalagi di kota-kota lain.

Pemerintah dapat merealokasi anggaran yang digunakan untuk pembelian kendaraan listrik dan subsidi bahan bakar, lalu memanfaatkannya untuk mengoperasikan lebih banyak kereta Commuter Line, memperluas jaringan MRT Jakarta, dan membeli lebih banyak bus listrik.

Lagipula bukankah jalan tol tidak bisa kita makan? Bukan begitu, Pak Presiden?

Yang lebih penting lagi, Indonesia harus memenuhi janji untuk menghentikan penggunaan batu bara dan beralih ke energi ramah lingkungan. Jakarta dikelilingi 16 pembangkit listrik tenaga batu bara yang mengeluarkan polutan yang dibawa oleh angin ke timur dan barat. Mungkin memang tidak ada pilihan selain mempensiunkan sebagian, atau bahkan seluruh pembangkit listrik tenaga batu bara, untuk membebaskan kota dari polusi.

Ya, transisi energi memang mahal. Karena itu, Indonesia harus lebih serius dalam upaya mendapatkan dana asing yang diperlukan untuk beralih dari batubara. Menandatangani Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership) mungkin merupakan awal yang baik. Namun ada baiknya jika kita juga menjajaki sumber pendanaan asing lainnya.

Penting bagi pemerintah untuk bekerja cepat dalam mencari solusi jangka panjang untuk masalah polusi ini. Karena semakin lama pemerintah menunda-nunda, semakin banyak nyawa yang terancam, akibat terpapar polusi udara.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.