Politik bukan hal yang mudah. Kepemimpinan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), satu-satunya partai politik yang mengaku mewakili generasi muda, milenial, dan kini Gen-Z, sudah tak asing lagi dengan kalimat tersebut.
Sebagai salah satu partai politik termuda yang juga dipimpin oleh generasi muda, PSI mau tidak mau jadi sasaran intimidasi partai-partai yang lebih besar dan lebih dulu ada.
Dalam beberapa bulan terakhir, partai yang didirikan oleh politisi dan pengusaha Jeffri Geovanie tersebut terlibat polemik dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). PDIP sebagai partai nasionalis terbesar dan tertua di negara ini, merupakan saingan utama PSI dalam perebutan suara blok pemilih nasionalis.
Inti perselisihan antara PDIP dan PSI adalah keputusan PSI yang mengajukan nama gubernur Jawa Tengah dan politisi PDIP Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. PSI kemudian dituding “tidak sopan” karena secara terbuka mendukung Ganjar tanpa bertanya terlebih dahulu kepada PDIP. Dalam pembelaannya, partai muda tersebut mengatakan bahwa mereka telah mencoba menghubungi PDIP, namun tidak ada tanggapan dari partai yang sudah mapan itu.
Bagai pukulan telak ketika calon yang diajukan PDIP menanggapi dengan candaan, menyebut nama badan sepak bola nasional. “Apa? PSSI?” kata Ganjar saat ditanya wartawan soal dukungan PSI padanya.
PSI kemudian mencabut dukungannya terhadap Ganjar. Kini partai itu condong ke Partai Gerindra, sekaligus sebagai upaya menunjukkan kepada pimpinan PDIP bahwa “partai bocil ingusan” tetap harus ditanggapi dengan serius.
Tapi PSI harusnya tahu, masalahnya bukan karena partai lain meremehkannya. Masalah besar PSI saat ini adalah kesulitan menghadirkan tokoh yang mampu meraup suara. Masalah serupa juga dialami sebagian besar partai politik, termasuk Partai Golkar. Padahal, Partai Golkar bisa dibilang merupakan partai dengan pengalaman elektoral paling banyak.
Hingga saat ini, hanya PDIP yang berhasil melahirkan politisi-politisi populer dan berpengalaman, yang layak bertarung pada pemilu tahun depan. Joko “Jokowi” Widodo telah menjadi anggota PDIP sejak ia mencalonkan diri sebagai Wali Kota Surakarta di Jawa Tengah pada 2005. Ganjar adalah anggota PDIP yang merintis karier politik dengan menjadi anggota parlemen, sebelum memenangkan jabatan gubernur Jawa Tengah tahun 2013. Sangat wajar jika PDIP tidak suka ketika PSI menggaet kadernya demi ambisi elektoral.
Terlepas dari idealisme politik, alasan utama PSI buru-buru mencalonkan Ganjar adalah karena mereka berharap bisa mendompleng ikut serta dalam pemilu legislatif. Hal yang sama dilakukan Partai NasDem dengan mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan.
Semua menjelaskan alasan PSI memilih kader terbarunya, Kaesang Pangarep, sebagai ketua umum. Putra bungsu Presiden Jokowi itu diangkat sebagai ketua hanya tiga hari setelah resmi jadi anggota PSI.
Kita harus memberi kesempatan pada pemula politik berusia 28 tahun itu untuk membuktikan kapasitasnya sebagai pemimpin PSI. Partai boleh berkilah dan mengatakan apa saja untuk membenarkan pilihannya pada pemimpin yang mungkin membingungkan para pemilih. Meski demikian, jelas bahwa keputusan memilih Kaesang menjadi ketua terutama didorong oleh tekad partai untuk mendapatkan kursi di DPR pada tahun 2024. Bisa jadi itulah satu-satunya indikator kinerja Kaesang sebagai Ketua Umum PSI.
Permasalahan utama dalam langkah PSI adalah bahwa tindakan itu tidak didasarkan pada meritokrasi. Partai tersebut sebenarnya punya beberapa kader pemimpin muda yang sedang naik daun dan telah lebih lama jadi anggota partai, seperti Raja Juli Antoni, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang, juga Faldo Maldini, juru bicara Sekretariat Negara.
Jadi persoalannya bukan pada usia Kaesang atau keistimewaannya sebagai anggota keluarga Presiden, melainkan kurangnya pengalaman yang bersangkutan. Yang juga penting adalah keputusan itu membuktikan politik yang cacat proses, yang akhirnya bisa melemahkan PSI sebagai sebuah institusi.
Sebagai negara demokrasi, kita perlu partai-partai politik. Terlepas dari kekurangannya, PSI adalah lembaga penting yang kita harap akan semakin maju seiring makin matangnya organisasi partai itu. Untuk bisa mencapainya, partai harus mulai dari bawah, dan menolak godaan oportunisme politik yang bersifat merusak internal partai.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.