emerintah kita menghabiskan sebagian besar pendapatan negara hanya untuk satu tujuan: membuat energi tampak murah bagi konsumen dan perusahaan.
Tapi, tujuan itu biayanya mahal.
Tahun lalu, subsidi dan kompensasi energi, yang pada dasarnya bertujuan sama, memakan dana Rp551 triliun ($35 miliar dolar Amerika). Jumlah itu adalah lebih dari sepersepuluh anggaran negara.
Sesungguhnya, uang sebesar itu bisa digunakan untuk hal-hal lain. Seharusnya, layanan kesehatan dan pendidikan biasanya menjadi dua bidang yang disebutkan pertama kali ketika mengangkat isu anggaran negara. Rp551 triliun juga dapat digunakan untuk membangun infrastruktur, termasuk mendirikan kawasan industri, yang akan membuka lapangan kerja lebih luas dan menciptakan efek pengganda ekonomi.
Para ahli telah menunjukkan dampak distorsi dari subsidi, yang dikenal sebagai kesalahan alokasi sumber daya. Artinya, dana tidak tersalurkan ke tempat yang tepat. Di tingkat nasional, hal ini merupakan kesalahan yang sangat merugikan.
Ironisnya, membuat harga bensin lebih murah dari seharusnya akan menambah keunggulan kompetitif bagi mobil dengan mesin pembakaran konvensional. Pada akhirnya, daya tarik tersebut harus ditandingi lagi oleh pemerintah, melalui pemberian lebih banyak subsidi untuk kendaraan listrik (electric vehicles atau EV).
Tentu saja, dua jenis subsidi itu tidak membantu masyarakat termiskin di Indonesia. Mereka tetap tidak mampu membeli kendaraan sama sekali, dengan atau tanpa subsidi.
Subsidi konsumsi bahan bakar fosil juga bertentangan dengan program transisi energi di Indonesia. Subsidi jenis itu justru memotong biaya kendaraan penyumbang polusi, menjadikannya lebih murah lagi. Akhirnya, akan menghambat upaya mengurangi pemborosan energi di rumah, kantor, dan pabrik di seluruh negeri.
Selain itu, harga listrik yang terlalu rendah menciptakan ekosistem pasar yang tidak mendukung energi terbarukan. Produsen listrik independen memerlukan feed-in tariff yang menarik agar investasi pada pembangkit listrik ramah lingkungan dapat menguntungkan.
Ternyata sudah jelas bahwa semua argumen di atas menentang subsidi energi, khususnya subsidi yang pada akhirnya justru mendorong konsumsi bahan bakar fosil.
Namun, memangkas anggaran perlu tekad politik yang luar biasa. Tentu saja karena ada risiko mendapat reaksi balik dari masyarakat, yang dapat dieksploitasi oleh kekuatan politik oposisi.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mungkin tidak cukup memperhitungkan hal ini menjelang atau di awal masa jabatan pertamanya, ketika ia berjanji untuk mereformasi subsidi.
Memang benar, mengatasi masalah ini pada saat Jokowi masih sibuk mengkonsolidasikan dukungan untuk pemerintahannya yang baru saja dimulai akan menjadi langkah politik yang berisiko. Dari sudut pandang kebijakan publik pun, masalah subsidi mungkin bukan hal yang jadi prioritas utamanya, setidaknya tidak semendesak prioritas lain yang dia unggulkan, misalnya pembangunan infrastruktur.
Namun gambarannya sangat berbeda setelah Jokowi terpilih untuk kedua kali. Pada saat itu, ia telah membangun aliansi yang kuat sehingga memberinya pengaruh besar dalam pengambilan kebijakan. Lebih penting lagi, dia tidak harus menghadapi pemilu lagi.
Waktu yang ideal untuk mereformasi subsidi adalah pada 2019, sebelum pandemi COVID-19 menyabotase segalanya. Saat itu, inflasi berada pada kisaran 3 persen, masih berada dalam koridor target bank sentral sebesar 2 hingga 4 persen.
Sayang, kesempatan itu terlewatkan. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, tak perlu disesali.
Yang patut dipuji bagi Jokowi adalah pemerintahannya telah mengambil tindakan berarti dengan memotong subsidi bahan bakar pada bulan September tahun lalu. Pemangkasan subsidi pada tahun lalu adalah keputusan sulit, karena inflasi meningkat dengan cepat di tengah tingginya harga komoditas global.
Di sisi lain, alokasi subsidi yang membengkak dalam anggaran negara benar-benar tidak memberikan pilihan lain yang masuk akal. Artinya, bisa saja tindakan tersebut secara politis menjadi yang termudah dilakukan pada saat itu.
Meskipun pemangkasan subsidi secara alami mengurangi tekanan terhadap anggaran, kenaikan harga bahan bakar menandai penyesuaian kebijakan, bukan reformasi.
Siapa pun yang memegang kendali di Jakarta, baik saat ini atau setelah pemilu pada bulan Februari 2024, mungkin akan tergoda untuk menunggu saja isu subsidi bahan bakar mengemuka. Toh dalam jangka panjang, peralihan ke kendaraan listrik pada akhirnya akan menurunkan penggunaan bensin. Namun hal ini hanya membuat isu subsidi listrik menjadi semakin penting.
Yang sudah pasti, harus ada yang berani mereformasi subsidi. Jika bukan pemerintah saat ini, semoga pemerintahan berikutnya. Jangan pernah mengatakan tidak pernah.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.