alam beberapa minggu terakhir, menjelang pemilu tahun depan, kita telah menyaksikan pertunjukan politik tinggi yang setingkat dengan pentas gladiator.
Inilah pertarungan tanpa banyak aturan. Seperti yang kita saksikan awal pekan ini, apa pun yang tersisa dari aturan permainan tersebut telah diporakporandakan, untuk memberi ruang pada aksi unjuk kekuatan secara vulgar.
Demokrasi hanya bisa berjalan dengan asumsi bahwa ada aturan main yang berlaku dan semua orang mengikuti aturan yang sama. Anda tidak bisa melanggar aturan hanya untuk memenangkan permainan. Atau lebih buruk lagi, Anda tidak boleh mengubah peraturan hanya karena punya wewenang untuk melakukannya.
Hal itulah yang terjadi awal pekan ini. Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang mengubah undang-undang pemilu terkait batasan usia bagi calon presiden.
Kenyataan yang menyedihkan adalah bahwa alat hukum telah disalahgunakan jauh sebelum keputusan diambil.
Ancaman tuntutan pidana telah disebarluaskan untuk membuat para politisi bertindak. Beberapa dari mereka bahkan masuk penjara karena menunjukkan perlawanan pada koalisi yang berkuasa. Memang, ada beberapa dari politisi tersebut yang faktanya melakukan kesalahan, yaitu menggelapkan dana dari kas negara.
Namun, kita mungkin sudah tidak terkejut lagi. Saat ini, kita berada dalam masa yang tidak mempedulikan kesopanan dan kepatutan.
Bagaimanapun, ini adalah perjanjian politik yang dibuat sembilan tahun lalu. Saat itu, ada janji untuk membangun lebih banyak jalan, jembatan dan pelabuhan. Semua fasilitas tersebut, kita pikir akan menyelesaikan permasalahan paling mendesak, yaitu kemiskinan, buta huruf, dan kesenjangan.
Kita memang perlu jalan, jembatan, dan bandara untuk mengatasi masalah kemiskinan. Namun, sepertinya kita lupa cara mengatasi kemiskinan pikiran.
Bagaimana jika masalah politisi yang nakal bersumber dari kurangnya paparan mereka terhadap hal-hal yang mengedepankan keindahan dalam hidup, seperti seni, filsafat, dan sastra dunia?
Bagaimana jika kemiskinan pikiran diakibatkan oleh kurangnya paparan mereka terhadap sastra dunia, karya klasik Pramoedya Ananta Toer, Eka Kurniawan, Dickens atau Tagore?
Dalam hal ini, para politisi harus melakukan perjalanan ke Bali minggu ini. Mereka harus bergabung dengan masyarakat yang berkumpul di Ubud Writers and Readers Festival, yang tahun ini telah terselenggara selama 20 tahun. Di Ubud, prosa dan puisi dirayakan. Alih-alih berbicara tentang politik, kita dapat mendiskusikan cara-cara untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik melalui seni dan budaya.
Manusia tidak bisa hidup sekadar dari makanan jasmani saja.
Atau dalam kata-kata tokoh sastra Tiongkok modern, Lu Xun: “Sebuah negara dengan kekayaan fisik yang luar biasa hanya akan menjadi sasaran empuk atau menjadi penonton yang ternganga, jika rakyatnya lemah secara intelektual.”
“Dan cara terbaik untuk mengubah pola pikir mereka adalah melalui sastra dan seni,” tulisnya dalam kumpulan cerita pertamanya, Outcry.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.