TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Bisakah Jokowi bersikap netral?

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, November 1, 2023

Share This Article

Change Size

Bisakah Jokowi bersikap netral? *************** (Antara/Hafidz Mubarak A)
Read in English
Indonesia Decides

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menjamu tiga calon presiden dengan makan siang. Hal yang jarang terjadi antara presiden yang sedang menjabat dan orang-orang yang bersaing. Pesan yang ingin disampaikan sudah jelas: bahwa ia akan menjadi pihak netral dalam pemilihan presiden mendatang. Namun, semakin diungkapkan, masyarakat semakin tidak yakin bahwa Presiden mampu bersikap netral.

Memang bukan hal yang aneh bagi para pemimpin petahana untuk mengklaim netralitas selama pemilu. Namun, pernyataan Jokowi, yang tidak akan dianggap remeh oleh banyak pemilih, menjadi ganjil karena ia terlihat bersedia melakukan apa pun untuk menegaskan netralitasnya. Ia berupaya keras menunjukkan bahwa ia tidak akan melakukan hal yang menguntungkan salah satu calon presiden.

Makan siang tersebut merupakan ciri khas teatrikal politik Jokowi. Ini adalah acara yang dikoreografikan dengan hati-hati, dengan maksud menciptakan kesan bahwa Presiden tidak punya calon favorit dalam pemilu. Presiden berusaha memperlihatkan bahwa semua baik-baik saja di tengah meningkatnya suhu politik.

Di masa lalu, langkah semacam itu akan sangat menawan hati. Namun seharusnya Jokowi paham bahwa ia bukan lagi politisi yang tidak dikenal dan misterius seperti dulu. Lebih dari satu dekade lalu, ia bisa memikat masyarakat dengan kegiatan macam “diplomasi makan siang” dan kunjungan dadakan yang dikenal sebagai blusukan.

Urusan netralitas Presiden diangkat karena sudah sampai taraf yang mengkhawatirkan. Semakin mengkhawatirkan ketika Presiden merasa perlu bertindak istimewa untuk menepis keraguan masyarakat atas sikap ketidakberpihakannya.

Sulit dipercaya bahwa Jokowi bisa menjadi pihak netral dalam pemilu yang akan datang. Putranya, Gibran Rakabuming Raka, adalah calon wakil presiden yang menjadi pasangan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto. Dan kini, pasangan itu teratas dalam jajak pendapat. Presiden disebut mengerahkan aparatnya untuk membuka jalan bagi putra sulungnya, yang saat ini menjabat Wali Kota Surakarta, untuk ikut serta dalam pemilu.

Keputusan Gibran mencalonkan diri sebagai pasangan Prabowo praktis membuat keluarga Presiden berhadapan dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai yang menjadi kendaraan politik mereka selama 12 tahun terakhir. Hal ini semakin memperburuk hubungan Presiden dengan pemimpin PDIP Megawati Soekarnoputri. Megawati telah memilih mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari PDIP. Keputusan tersebut bahkan mungkin membuat partai kehilangan beberapa jabatan di kabinet atau jabatan politik strategis lainnya.

Konflik baru antara Jokowi dengan partainya sendiri terjadi setelah berminggu-minggu sebelumnya muncul pemberitaan mengenai perseteruannya dengan pemimpin Partai NasDem Surya Paloh. Partai NasDem telah mengajukan mantan Gubernur DKI Anies Baswedan sebagai calon presidennya. Anies, dengan dukungan Paloh, mencalonkan diri sebagai presiden yang mengusung platform “perubahan”, dan menggambarkan dirinya sebagai antitesis dari Jokowi.

Tak lama setelah pengumuman pencalonan Anies, dua menteri NasDem di Kabinet Indonesia Maju ditangkap atas tuduhan korupsi. Penangkapan mereka telah memicu kekhawatiran bahwa lembaga-lembaga negara dijadikan senjata untuk mengintimidasi pihak oposisi.

Anies dan Ganjar tidak berprasangka pada Jokowi, dan mempercayai yang ia ucapkan. “Dia orang baik, Insya Allah dia akan mendukung sistem demokrasi yang baik,” kata Ganjar. Anies juga tampaknya percaya bahwa Presiden paham pesannya: “Kami sampaikan pada Pak Presiden bahwa ada banyak orang yang menghormatinya, dan orang-orang ini ingin dia tetap netral. Presiden juga harus memastikan bahwa semua aparatur negara akan bersikap netral.”

Namun kita tahu bahwa tidak realistis mengharapkan Presiden untuk bersikap netral sepenuhnya dalam pemilihan presiden, mengingat putranya sendiri akan ikut serta dalam kontestasi. Karena itu, mari meminta Presiden agar tidak mengerahkan aparat negara untuk berbuat curang dalam pemilu.

Kita telah melihat indikasi bahwa Presiden berupaya untuk lebih mengkonsolidasikan kekuasaan menjelang pemilu, dengan menempatkan sekutu dekatnya pada posisi-posisi strategis. Penempatan ini tidak hanya di dalam kabinet tetapi juga sebagai kepala daerah di seluruh negeri.

Terlepas dari apakah Presiden punya pilihan favorit dalam pemilu atau tidak, aparatur negara tidak boleh berpolitik. Hal itulah yang akan meyakinkan masyarakat terhadap netralitas Presiden, dan bukan pertunjukkan jamuan makan siang mewah.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.