ertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga lebih rendah dari perkiraan banyak orang, turun di bawah angka 5 persen. Ini untuk pertama kalinya pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) berada di bawah angka 5 persen sejak pandemi COVID-19.
Beberapa bank papan atas memproyeksikan pertumbuhan PDB sebesar 5,1 persen. Secara umum, proyeksi itu sejalan dengan kinerja yang terlihat pada semester pertama tahun ini.
Sebaliknya, output perekonomian justru meningkat sebesar 4,94 persen year-on-year (yoy). Jika direnungkan, angka tersebut bukanlah hasil yang buruk.
Perekonomian global diramaikan naiknya tingkat utang dan risiko geopolitik. Efeknya adalah beban keuangan yang berat pada negara-negara dan perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, yang pada akhirnya merugikan konsumen serta pelaku usaha menengah dan usaha kecil (UMK).
Karena itu, tidak mengherankan jika salah satu penyebab laporan PDB yang mengecewakan adalah lemahnya kinerja ekspor. Surplus perdagangan Indonesia pada kuartal ketiga tahun ini hanya separuh jika dibandingkan surplus perdagangan pada kuartal yang sama tahun lalu.
Di dalam negeri, musim pemilu semakin terasa. Suhu politik memanas. Hari pemungutan suara tinggal dua bulan lagi. Tanpa adanya kandidat yang terlihat kuat, belum ada kepastian tentang siapa yang akan duduk di Istana Negara, menjadi presiden di tahun depan.
Keyakinan terhadap arah politik negara, juga kepastian undang-undang serta peraturan, sangat penting bagi dunia usaha. Mereka membutuhkannya untuk mengambil keputusan jangka panjang. Beberapa kekhawatiran mengemuka seiring berakhirnya dua periode kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Tidak diragukan lagi, ketidakpastian ini menghambat sejumlah belanja modal oleh investor. Padahal, sebenarnya para investor ingin terus berinvestasi, misalnya dengan membangun pabrik baru atau terlibat dalam pembangunan ibu kota di masa depan.
Sementara itu, suku bunga yang tinggi membebani sektor properti karena calon pembeli kesulitan mendapatkan pinjaman yang terjangkau. Apalagi, menurut standar lokal, kenaikan upah tahun ini tidak terlalu tinggi.
Tak heran, kepercayaan konsumen turun pada kuartal ketiga, dan belanja rumah tangga ternyata lebih rendah dibandingkan periode tiga bulan sebelumnya.
Namun, meskipun kondisi perekonomian global dan domestik sulit, Indonesia masih berpeluang mencapai pertumbuhan PDB sebesar 5 persen pada tahun ini.
Yang lebih penting lagi, sangat wajar untuk mengharapkan pertumbuhan yang lebih cepat setelah kondisi lingkungan membaik. Lagipula, terdapat beberapa alasan untuk optimis.
Di Amerika Serikat, pembahasan kebijakan moneter sudah beralih dari kenaikan suku bunga lebih lanjut ke perkiraan pelonggaran kendali oleh Federal Reserve atau The Fed. Banyak pihak memperkirakan hal ini akan terjadi tahun depan, yang akan mengubah sentimen pasar global menjadi sentimen risiko. Diprediksi akan lebih banyak investasi mengalir ke negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Selain itu, perang di Timur Tengah dan Ukraina tidak akan berlangsung selamanya. Laporan di media menunjukkan meningkatnya seruan untuk melakukan negosiasi penyelesaian perang di Ukraina dan setidaknya gencatan senjata di Gaza.
Di Indonesia, setelah pemilu pada bulan Februari usai, ketidakpastian mengenai situasi politik negara juga akan berkurang.
Karena itu, tidaklah berlebihan jika kita berasumsi bahwa kondisi makroekonomi Indonesia akan jauh lebih baik pada pertengahan 2024. Dalam hal ini, harapan bagi pengganti Jokowi adalah meningkatkan pertumbuhan PDB menjadi 5,5 persen, atau bahkan 6 persen.
Memang benar, ketiga calon presiden menjanjikan pertumbuhan PDB sebesar 6 hingga 7 persen. Hal yang sama juga pernah dijanjikan Jokowi di masa lalu.
Tentu saja, hasil akhirnya bisa berbeda. Risiko-risiko besar mengintai tingkat utang global, termasuk utang publik, dan kemungkinan memperburuk ketegangan geopolitik. Dua hal tersebut merupakan faktor eksternal dari sudut pandang Indonesia, mengingat tingkat utang dalam negeri dianggap aman dan negara tidak berperan dalam permainan kekuatan global.
Namun, pemerintahan Indonesia saat ini dan di masa depan harus siap menghadapi dampak ekonomi, akibat krisis global. Krisis tersebut pasti berimbas terhadap perekonomian dalam negeri.
Pemerintahan Jokowi tampaknya akan meninggalkan landasan ekonomi yang kokoh, dengan asumsi tidak ada yang melakukan kekacauan pada tahap akhir pemerintahannya. Siapa pun yang mengambil alih tongkat estafet menjadi presiden di tahun depan pasti berharap yang terbaik. Namun, tetap harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.