TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Jaga pemilu kita

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, November 29, 2023

Share This Article

Change Size

Jaga pemilu kita General Elections Commission (KPU) head Hasyim Asy'ari (center) reads the Peaceful 2024 Election Campaign Declaration at the commission's headquarters in Jakarta on Nov. 27, 2023, as the three 2024 presidential and vice presidential candidate pairs look on. The declaration, signed by the six candidates as well as representatives of the 18 political parties participating in the 2024 election, calls for a safe, peaceful, orderly and ethical election. It also calls for one free of hoaxes, vote buying and sectarian identity politics. (Antara/Aditya Pradana Putra)
Read in English
Indonesia Decides

Para pengamat asing secara konsisten menganggap pemilu di Indonesia relatif damai. Prestasi tersebut membuat kita mendapat pujian global atas ketahanan demokrasi kita. Sebab, selain kebrutalan yang mengakibatkan korban tewas pasca pemilu 2019, tidak ada insiden kekerasan besar yang terjadi selama masa kampanye dan hari pemilihan umum dalam 20 tahun terakhir.

Mungkin, pemilu damai adalah hal yang biasa bagi sebuah negara agar dapat memenuhi syarat sebagai negara demokrasi yang sesungguhnya. Tapi kita berbangga hati dapat melewati empat pemilu dengan lancar. Pasca jatuhnya Soeharto, kita selalu melewati masa peralihan kekuasaan secara damai tanpa ada insiden yang mengganggu stabilitas.

Sebagai gambaran, di Thailand, konflik politik yang berlarut-larut telah menyebabkan setidaknya dua kudeta militer sejak 2006. Sementara di Filipina, kekerasan pemilu sangat umum terjadi. Bahkan baru-baru ini, tiga orang terbunuh di wilayah selatan negara tersebut, yang dalam beberapa hari mendatang dijadwalkan mengadakan pemilihan kepala daerah di 42.000 desa.

Tentu saja, saat Ini bukan saat yang tepat untuk berpuas diri. Kita sekarang menyadari betapa rapuhnya demokrasi kita. Tuduhan kecurangan pemilu menjadi lebih serius setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo secara terbuka mengatakan bahwa ia bermaksud campur tangan dalam pemilu dan mengizinkan putranya, Gibran Rakabuming Raka, untuk ikut serta dalam pemilihan presiden 2024. Jelas bahwa kesuksesan kita menyelenggarakan pemilu yang bebas, terbuka, dan yang paling penting secara damai seperti di masa lalu bukan lagi menjadi hal yang otomatis bisa kita dapatkan.

Memang benar bahwa pemilih di Indonesia mungkin tidak lagi terpolarisasi seperti pada dua pemilu terakhir. Namun bukan berarti musim kampanye pemilu saat ini aman, tidak terlalu rentan terhadap konflik sosial yang disertai kekerasan. Persoalan mengenai netralitas Presiden dan meningkatnya kekhawatiran akan potensi mobilisasi aparatur negara untuk mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu patut dijadikan indikasi adanya potensi konflik sosial terkait pemilu.

Dengan dimulainya musim kampanye secara resmi pada hari Selasa, kami berharap seluruh pemangku kepentingan, termasuk para pemilih, berkomitmen untuk memastikan pemilu berjalan sedamai mungkin. Masa kampanye akan berlangsung kurang dari tiga bulan, dengan pemilu dijadwalkan pada 14 Februari 2024. Saat itulah para pemilih diperkirakan akan memilih presiden, wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPRD untuk periode pemerintahan berikutanya.

Ketiga pasangan calon – Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD – berjanji akan menjaga pemilu tetap jujur. Terlebih lagi, dalam banyak kesempatan, mereka bahkan sepakat untuk menjadikan pemilu kali ini lebih “menyenangkan” dan tidak terlalu menegangkan dibandingkan pemilu sebelumnya. Namun, kita tahu bahwa tipu muslihat politik saja tidak akan membantu mengurangi risiko kekerasan pemilu.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah mengklasifikasikan Jakarta sebagai provinsi yang paling rentan selama kontestasi pemilu. Alasannya, ada risiko yang lebih besar terhadap aksi jual beli suara atau kampanye yang dirusak oleh ujaran kebencian atau politik identitas. Polri mengaku punya data sendiri terkait daerah-daerah yang rawan konflik. Mereka akan mengerahkan lebih dari 260.000 personel untuk mengamankan pemilu di seluruh negeri.

Bagaimana pun, penyelenggara pemilu dan penegak hukum hanya dapat bekerja secara efektif jika pemangku kepentingan lainnya, khususnya elit politik di belakang para kandidat presiden, benar-benar berkomitmen untuk menjaga pemilu berjalan damai. Bukan rahasia lagi bahwa elit politik terlibat dalam banyak kasus mobilisasi rakyat untuk melakukan kekerasan politik.

Ada juga risiko penggunaan teknologi digital. Teknologi digital dapat dimanfaatkan oleh elit politik. Teknologi bisa digunakan untuk mempolarisasi masyarakat serta menghasut mereka untuk melakukan kekerasan di dunia nyata. Hal ini terjadi pada pemilu lalu, dan bisa saja terulang kembali pada pemilu saat ini.

Terlalu banyak hal yang dipertaruhkan dalam pemilu kali ini. Kita telah berulang kali meminta aparatur negara untuk bekerja secara profesional demi kepentingan bangsa. Namun pada akhirnya, sebagai rakyat, kita juga memikul tanggung jawab untuk menjaga pemilu.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.