Sangat mengecewakan bahwa Indonesia tidak membawa hal baru ke dalam konferensi PBB mengenai perubahan iklim, atau COP28, yang sedang berlangsung di Dubai.
Indonesia dikaruniai begitu banyak sumber daya energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan. Mulai dari tenaga surya, panas bumi, tenaga angin, hingga tenaga air, bahkan biofuel, semua tersedia, mungkin lebih banyak dibandingkan negara-negara lain di dunia. Karena itu, kita harus percaya bahwa kita dapat mencapai kemajuan yang jauh lebih cepat menuju energi bersih, lebih cepat dari strategi transisi pemerintah saat ini.
Saat ini, target pemerintah adalah meningkatkan pangsa energi terbarukan menjadi hanya 23 persen pada 2025. Namun, target itu pun masih terlihat seperti sebuah perjuangan sulit. Indonesia berpegang teguh pada target mencapai nol emisi karbon, paling lambat pada 2060. Kita pasti paham, jika punya kemauan politik kuat, kita bisa mencapai lebih baik dari itu.
Di Dubai, Presiden Joko “Jokowi” Widodo bisa saja menyampaikan janji yang lebih kuat dalam pidatonya di hadapan 140 pemimpin dunia lainnya. Saat ini, ia bisa juga menunjukkan kepemimpinannya dalam kampanye internasional untuk menahan kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius dalam jangka panjang.
Indonesia memiliki semua potensi untuk memenuhi aspirasinya menjadi pemimpin global. Negara ini adalah salah satu negara terbesar di dunia dan kini menjadi negara berpendapatan menengah ke atas yang masih terus berkembang.
Beberapa waktu belakangan, kita telah berhasil menunjukkan semangat kepemimpinan dalam berbagai isu. Beberapa di antaranya termasuk inisiatif perdamaian dan kesetaraan ekonomi yang lebih baik. Namun, terkait perubahan iklim, jika dilihat dari target yang sangat sederhana, Indonesia adalah negara pengikut, bukan pencetus.
Tidak ada yang salah dengan strategi perubahan iklim pemerintah. Indonesia mengurangi penggunaan batu bara, yang masih menjadi penggerak utama pembangkit listrik, dan mulai mengurangi penggunaan minyak dan gas. Upaya ini berjalan seiring dengan semakin meningkatnya penggunaan sumber energi terbarukan.
Kita sudah melakukan hal yang serupa dengan yang dilakukan sebagian besar negara lain. Hanya saja kita belum bergerak cukup cepat dalam melakukan transisi menuju energi ramah lingkungan.
Kesalahan dalam strategi kita, dan faktor utama yang tampaknya memperlambat transisi ini, adalah pemerintah yang membuat langkah-langkah ini bergantung pada ketersediaan dana untuk membiayai investasi besar yang diperlukan. Yang lebih buruk lagi, pemerintah mengharapkan sebagian besar dana tersebut berasal dari luar negeri, bahkan jika memungkinkan dalam bentuk hibah.
Indonesia telah mendesak negara-negara maju untuk memenuhi janji mereka, yang dibuat pada KTT G20 di Bali pada 2022. Janji itu adalah dana sebesar $20 miliar dolar Amerika di bawah program Kemitraan Transisi Energi yang Adil, atau Just Energy Transition Partnership (JETP). Karena dana tak kunjung cair, pemerintah kemudian mengubah rencananya untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara. Alih-alih berbicara tentang berhenti menggunakan batu bara secara total, pemerintah kini berencana mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap, yang berarti memperlambat transisi.
“Perjanjian Paris dan target nol emisi karbon hanya dapat dicapai jika kita dapat mengatasi masalah pendanaan transisi energi. Dari sini permasalahan global bisa teratasi,” kata Presiden Jokowi dalam pidatonya di Dubai. Perjanjian Paris mengacu pada target menahan kenaikan suhu global 1,5 derajat.
Memang benar, pendanaan transisi oleh negara-negara maju termasuk dalam keadilan iklim. Dengan pemahaman bahwa negara-negara kaya, yang merupakan penghasil emisi terbesar berdasarkan aktivitas ekonominya, akan menanggung sebagian besar dari $275 triliun yang dibutuhkan dunia untuk melakukan transisi dari penggunaan energi bahan bakar dari fosil menjadi energi terbarukan.
Dalam pidatonya, Jokowi mungkin menyuarakan sentimen yang sama yang ada dalam benak masyarakat negara-negara berkembang. Namun, argumennya akan lebih kuat jika Indonesia bisa memberikan contoh. Artinya, Indonesia harus berani mengambil langkah tegas untuk bergerak lebih cepat dalam transisi energi, tanpa harus menunggu pendanaan asing terlebih dahulu.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.