inggu ini diwarnai berita kejatuhan yang dialami perusahaan konstruksi milik negara Wijaya Karya (WIKA). Berita itu menjadi pengingat akan risiko yang dihadapi perusahaan-perusahaan milik negara ketika mereka berupaya mewujudkan ambisi infrastruktur Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Krisis di internal WIKA terjadi setelah kebangkrutan perusahaan konstruksi milik negara lainnya, Waskita Karya. Saat ini, Waskita Karya telah masuk proses restrukturisasi utang secara formal.
Banyak yang percaya bahwa kejatuhan Waskita akan menjadi kasus satu-satunya, dan WIKA tidak akan menyusul menempuh jalur yang sama.
Bahkan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sempat meyakinkan masyarakat bahwa kondisi WIKA baik-baik saja. Ketika itu, dinyatakan bahwa kondisi keuangan WIKA jauh lebih baik dibandingkan Waskita. Tapi ini terbukti sebagai pernyataan yang terlalu percaya diri.
Hari Senin 18 Desember adalah tenggat waktu bagi WIKA untuk melakukan pembayaran pokok sukuknya (obligasi syariah). Dan WIKA tidak berhasil memenuhi hal itu. Pada awal Desember, perusahaan telah mengusulkan penundaan pembayaran, namun tidak berhasil mendapatkan persetujuan yang diperlukan untuk menghindari gagal bayar.
Ini bukan kali pertama WIKA meminta kelonggaran terkait pembayaran utang. Sebelumnya, perusahaan berhasil meyakinkan krediturnya untuk memberikan perpanjangan.
Masalah berat yang dialami WIKA memaksa Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan perdagangan sahamnya pada hari Senin. Beberapa bulan sebelumnya, hal serupa juga dilakukan Waskita Karya setelah gagal memenuhi batas waktu pembayaran obligasi. Saham perusahaan kini terancam dihapus dari daftar BEI.
Investor berhak meragukan WIKA setelah perusahaan tersebut membukukan rugi bersih sebesar Rp5,88 triliun ($379,2 juta dolar Amerika) pada kuartal ketiga tahun 2023. Kondisi keuangan perseroan memburuk secara signifikan sepanjang tahun setelah melaporkan rugi bersih yang lebih kecil, yakni Rp59 miliar pada 2022.
Tanda-tanda permasalahan di WIKA sudah terlihat sejak awal 2020, ketika laba bersih perusahaan anjlok 92 persen menjadi Rp185 miliar. Setahun sebelumnya WIKA sempat membukukan laba Rp2,28 triliun.
Kementerian BUMN menuding penurunan laba disebabkan oleh dugaan kecurangan, baik dalam pelaporan keuangan maupun tata kelola. Perang harga antar BUMN juga sempat mengemukan sebagai penyebab penurunan laba.
Namun, seperti halnya Waskita, WIKA menghadapi perjuangan berat untuk menyelesaikan proyek infrastruktur pemerintah yang sejak awal sudah dinilai tidak layak secara komersial.
Sejak Juni, WIKA berencana menjual setidaknya tiga ruas tol, yakni Tol Manado-Bitung, Balikpapan-Samarinda, dan Soreang-Pasir Koja. Keseluruhan proyek tersebut merupakan penugasan pemerintah.
Operator jalan tol milik negara, Jasa Marga, yang juga mengerjakan proyek Manado-Bitung, menyatakan pada 2022 bahwa jalan tol tersebut menimbulkan kerugian besar.
Apalagi, pemerintah menugaskan WIKA untuk membantu pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang kini diberi nama “Whoosh”.
Pada tanggal 30 September, WIKA dan rekanan kontraktor Tiongkoknya meminta dana sebesar Rp4,6 triliun dari KCIC, konsorsium Tiongkok-Indonesia yang bertanggung jawab atas proyek kereta cepat. Menurut laporan keuangannya, dana tersebut digunakan untuk menutup kelebihan biaya yang belum dibayar.
Kementerian Keuangan telah mengakui dampak Whoosh terhadap kinerja keuangan WIKA. Tahun depan, Kementerian Keuangan telah mengalokasikan Rp 6 triliun untuk penyertaan modal negara (PMN) bagi perusahaan tersebut.
Pemerintah, khususnya Kementerian BUMN, perlu meningkatkan upaya restrukturisasi WIKA mengingat kondisi keuangan perusahaan yang mengalami kemerosotan signifikan.
Gagasan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo pada bulan Juni tahun ini untuk menggabungkan BUMN konstruksi yang terlilit utang mungkin memberi mereka ruang untuk bernapas. Namun, pemerintah tetap harus memprioritaskan reformasi cara penugasan serta skema pembayaran proyek infrastruktur, terutama yang sudah dianggap tidak layak secara komersial.
Pemerintah harus memberi kemudahan bagi BUMN untuk menjual asetnya guna menjaga keseimbangan keuangan. Bagaimana pun, beberapa BUMN ditugaskan membangun proyek-proyek baru meski masih banyak proyek lama yang belum tuntas.
BUMN umumnya enggan menjual aset karena khawatir ada tuduhan korupsi atau merugikan negara jika tidak melepas asetnya dengan harga yang cukup tinggi. Pemerintah tidak bisa membiarkan BUMN disalahkan atas angan-angan pembangunan yang dicanangkan pemerintah.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.