TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Tentang apel yang busuk

Majelis hakim memutuskan Rafael bersalah karena antara tahun 2002 hingga 2006 menerima gratifikasi yang melanggar hukum sebesar Rp10 miliar ($64,4031 dolar Amerika) dari wajib pajak.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, January 15, 2024

Share This Article

Change Size

Tentang apel yang busuk Facing justice: Defendant and former tax officer Rafael Alun Trisambodo attends a hearing on Oct. 23, 2023, at the Jakarta Corruption Court. The court heard the testimonies of seven witnesses in the gratuity and money laundering case involving Alun. (Antara/Donny Aditra)
Read in English

V

onis 14 tahun penjara terhadap mantan petugas pajak yang tak tahu malu, Rafael Alun Trisambodo, oleh Pengadilan Tipikor Jakarta diharapkan dapat menutup salah satu kisah yang paling mengejutkan sekaligus memberi pelajaran, yang pernah terjadi di ranah hukum Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Kasusnya telah menghenyakkan seantero negeri, mengungkap jaringan korupsi dan pencucian uang yang meresahkan, tetapi selama ini tertutup dari mata publik.

Walaupun keputusan ini mencerminkan kemenangan besar dalam pemberantasan korupsi, tetapi vonis tersebut harus dipandang sebagai langkah awal dalam perjuangan yang lebih jauh melawan penyimpangan dalam keuangan milik negara.

Lagi pula, seperti yang dikatakan dalam peribahasa, jika seseorang menemukan seekor kecoa di dalam rumah, justru pertanda dia harus waspada bahwa di sekitar tempat kecoa itu masih ada sarang kecoa yang tersembunyi, yang berisi lebih banyak lagi serangga itu.

Majelis hakim memutuskan Rafael bersalah karena antara tahun 2002 hingga 2006 menerima gratifikasi yang melanggar hukum sebesar Rp10 miliar ($64,4031 dolar Amerika) dari wajib pajak. Gratifikasi itu masuk melalui perusahaan konsultan pajak yang dikelola oleh istri Rafael.

Selain itu, ia juga diduga menerima gratifikasi lain senilai Rp47 miliar berupa potongan pajak, terkait jabatannya sebagai petugas pajak. Putusan pengadilan, termasuk denda dan biaya restitusi, sebagian besar sesuai tuntutan jaksa, meskipun jumlah yang diputuskan lebih rendah.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Modus operandi Rafael, yang merekomendasikan perusahaan konsultan pajak milik istrinya untuk mengaudit pembayar pajak dengan imbalan tertentu, merupakan contoh korupsi yang telah mengakar dalam sistem perpajakan. Kasus ini menyoroti adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan tinjauan menyeluruh terhadap skema checks and balances di dalam lembaga-lembaga pemerintah, demi mencegah terjadinya peristiwa serupa di masa depan.

Kita patut mengapresiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas upaya mereka yang tiada henti dalam menegakkan keadilan. Apresiasi terutama dalam pengajuan banding atas hukuman tersebut guna memaksimalkan pemulihan aset dan memberi efek jera. Namun, penting untuk menyadari bahwa penangkapan ini tidak seharusnya menjadi penanda kasus terakhir, melainkan awal dari upaya intensif untuk membersihkan lembaga-lembaga di negara kita.

Tuntutan jaksa KPK berupa hukuman 14 tahun penjara, denda besar, dan biaya restitusi yang besar menegaskan beratnya pelanggaran yang dilakukan Rafael. Pengakuan pengadilan atas faktor-faktor yang meringankan, seperti tidak pernah melakukan pelanggaran berat sebelumnya dan masih adanya kewajiban keluarga yang harus ia pikul, menyoroti kompleksitas dalam memutuskan sesuatu secara adil sambil mempertimbangkan keadaan terdakwa sebagai individu.

Perlu dicatat bahwa aktivitas terlarang Rafael baru terungkap setelah terdapat kasus penyerangan kriminal yang dilakukan putranya. Penyerangan itu secara tidak sengaja mengungkap gaya hidup mewah keluarga Rafael, yang bertentangan dengan kenyataan pendapatan resmi sesuai profilnya sebagai pegawai pemerintah.

Investigasi selanjutnya mengungkap tidak hanya sejauh mana korupsi yang dilakukannya namun juga memicu penyelidikan terhadap kekayaan pejabat publik lainnya. Pengungkapan ini harus memicu pemeriksaan yang lebih lanjut terhadap pegawai negeri yang menunjukkan gaya hidup mewah dan makmur yang mencurigakan.

Kasus Rafael juga harus menjadi peringatan untuk mendorong perombakan sistemis demi memperkuat institusi kita terhadap korupsi. Audit internal, peningkatan teknologi, dan budaya transparansi harus diprioritaskan untuk memastikan bahwa pejabat publik bertanggung jawab penuh atas seluruh tindakan mereka.

Sangat penting melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap petugas pajak, mengingat kerentanan mereka terhadap korupsi. Saat Rafael diadili, KPK menetapkan dua petugas pajak berpangkat rendah Yulmanizar dan Febrian pada November lalu karena diduga menerima gratifikasi. KPK menjerat mereka setelah sebelumnya menangkap atasan mereka, yaitu Angin Prayitno Aji, Dadan Ramdani, Wawan Ridwan, dan Alfred Simanjuntak.

Selain itu, pemerintah, termasuk yang akan dilantik pada akhir tahun ini, harus berpikir dua kali sebelum menerapkan kebijakan yang dapat digunakan sebagai cara untuk menyembunyikan kegiatan korupsi. Misalnya kebijakan amnesti pajak yang ingin digunakan oleh pengacara Rafael untuk menghindari tuntutan hukum.

Untuk saat ini, kita mungkin bergembira atas kemenangan penegakan keadilan melawan Rafael. Namun, penting untuk menyadari bahwa vonis dalam kasus ini hanyalah salah satu perjuangan dalam perang yang terus-menerus untuk melawan korupsi. Kini, tanggung jawab terletak di bahu para penegak hukum. Mereka harus bisa memanfaatkan momentum ini.

Mari menyerukan upaya berkelanjutan untuk memberantas korupsi sekaligus menanamkan kepercayaan terhadap integritas pegawai negeri kita. Bagaimana pun, kita tidak boleh membiarkan satu apel busuk merusak apel-apel yang lain dalam kemasannya.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.