Pemerintah harus menyadari bahwa lambatnya pembangunan energi terbarukan di negara ini hanya akan merugikan kita semua dalam jangka panjang.
ungguh mengecewakan mengetahui bahwa pemerintah memilih untuk melupakan target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional yang seharusnya dicapai pada 2025. Begitu Presiden Joko “Jokowi” Widodo menandatangani rancangan peraturan tersebut, target Indonesia akan dipangkas menjadi 17 persen atau lebih pada periode yang sama. Artinya, Indonesia akan tertinggal jika dibandingkan dengan pihak lain, seperti ASEAN, yang menargetkan mencapai 23 persen energi terbarukan pada tahun depan.
Sebagai salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia, kemunduran ini tidak hanya menunjukkan kurangnya tanggung jawab Indonesia. Lebih jauh, hal ini menunjukkan bahwa negara kita kurang sungguh-sungguh terhadap upaya pengurangan emisi. Padahal, seharusnya Indonesia menjadi yang terdepan di kawasan dalam hal transisi energi.
Pemerintah mengakui bahwa, setiap tahun, mereka terus menerus gagal mencapai target energi terbarukan. Dan hal tersebut berlangsung selama satu dekade terakhir. Karena itu, pemerintah merasa harus realistis terkait target yang dapat dipenuhi Indonesia.
Sah saja untuk memilih bersikap realistis. Namun, sikap itu tidak harus jadi alasan untuk menurunkan target. Pemerintah belum berbuat cukup banyak untuk mewujudkan impian energi terbarukan jadi kenyataan. Bisa jadi, pemerintah memang tidak punya kemauan untuk mewujudkannya.
Kegagalan mencapai target tersebut bukan akibat pekerjaan satu malam. Bagaimana pun, kebijakan energi terbarukan telah diterapkan sejak 2014. Selama ini, beberapa ahli telah berulang kali mengingatkan bahwa pemerintah akan gagal memenuhi target jika tidak menganggap serius target tersebut.
Para ahli berpendapat bahwa Indonesia masih akan gagal mencapai target, bahkan setelah target direvisi. Alasannya, belum ada tindakan nyata dari pemerintah Indonesia untuk mempercepat proyek energi terbarukan.
Salah satu sinyal bahwa Indonesia lambat memproses proyek energi terbarukan dapat dengan mudah terlihat dari kurangnya penawaran terbuka untuk proyek-proyek energi terbarukan di negara ini. Selama beberapa tahun terakhir, penawaran itu telah menjadi tanggung jawab PLN sebagai perusahaan utilitas milik negara.
Dunia usaha, baik asing maupun dalam negeri, menyesalkan betapa hal ini menyulitkan mereka untuk mencari proyek-proyek energi terbarukan yang potensial, dan membawa investasi mereka masuk ke Indonesia.
Selama bertahun-tahun, harga energi terbarukan di Indonesia tetap tidak menarik bagi investor. Listrik yang bersumber dari energi terbarukan hampir tidak dapat bersaing dengan listrik murah yang diproduksi pembangkit listrik tenaga batu bara. Tak heran, PLTU batu bara memperoleh manfaat dari subsidi dan kompensasi pemerintah, yang keduanya harus dibayarkan kepada PLN yang menjaga harga tetap rendah.
Jika penghapusan subsidi bukan merupakan pilihan demi popularitas dan karena alasan menjaga stabilitas ekonomi, maka pemerintah harus ingat bahwa ada pilihan untuk menciptakan keseimbangan dengan memberlakukan kebijakan yang sama bagi energi terbarukan.
Hingga saat ini, Indonesia juga tetap bersikeras memadukan kebijakan manufaktur ke dalam upaya pengembangan energi terbarukan. Bukannya membunuh dua burung dengan satu batu, atau dengan kata lain menghemat tenaga, kebijakan tersebut justru memperlambat segala proses.
Para pelaku usaha mengeluhkan betapa sulitnya memenuhi persyaratan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Sulit bagi mereka untuk menemukan industri lokal yang mampu memproduksi komponen dengan biaya dan kualitas yang mereka butuhkan.
Indonesia menerima konsekuensi setelah mengalami kondisi serupa dalam industri kendaraan listrik. Akhirnya, pemerintah mengizinkan kendaraan impor masuk terlebih dahulu untuk menciptakan permintaan dari pasar, sambil menunggu pembangunan pabrik yang memakan waktu lebih lama lagi.
Kondisi tersebut bisa saja terjadi pada energi terbarukan. Investor berhak bertanya, mengapa perlu repot-repot mendirikan fasilitas sumber energi di Indonesia jika permintaan terhadap energi terbarukan sedikit atau tidak ada sama sekali?
Meskipun benar bahwa PLN dan pemerintah sedang merancang rencana pengadaan listrik jangka panjang yang jauh lebih ramah lingkungan, penghentian lebih awal pembangkit listrik tenaga batu bara tetap harus dipertimbangkan. Pembangkit listri batu bara inilah yang telah berkontribusi terhadap kelebihan pasokan listrik di negara ini, yang dampaknya juga menghambat terciptanya listrik ramah lingkungan.
Penghentian pembangkit listri batu bara tidak harus menunggu tersedianya pendanaan asing. Anggaran negara juga dapat berperan dalam mempercepat proses ini.
Pemerintah harus menyadari bahwa lambatnya pembangunan energi terbarukan di negara ini hanya akan merugikan kita semua dalam jangka panjang.
Semakin banyak konsumen di seluruh dunia yang menyukai produk-produk yang dibuat menggunakan energi ramah lingkungan. Lambatnya transisi energi di Indonesia hanya akan menyebabkan negara ini kehilangan permintaan, terutama jika Indonesia serius dalam melakukan hilirisasi dan ingin mengekspor lebih dari sekadar sumber daya alam.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.