TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Indikator awal

Jika PDIP menjadi oposisi, negara dapat mempertahankan prinsip checks and balances secara efektif. Lembaga eksekutif dan lembaga legislatif bisa saling mengontrol.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, February 19, 2024

Share This Article

Change Size

Indikator awal Staff members fold ballot papers on Dec. 14, 2023, ahead of the 2024 general election, at the Denpasar Election Commission Logistics Warehouse in Denpasar, Bali. (AFP/Sonny Tumbelaka)
Read in English
Indonesia Decides

Calon pemenang pemilu presiden tahun 2024, Prabowo Subianto, dari hasil berbagai hitung cepat, tampaknya telah mengokohkan keunggulan yang tak terbantahkan. Hal itu tampak dari hitung cepat yang tidak lagi fluktuatif dalam memprediksi hasil dari salah satu pemilu berdurasi satu hari yang terbesar di dunia.

Namun meski sang Menteri Pertahanan secara luas telah diunggulkan untuk menang bahkan beberapa bulan sebelum hari pemilihan umum, kendaraan politiknya, Partai Gerindra, ternyata terlihat lemah dalam pemilihan legislatif.  Partai Gerindra menempati posisi ketiga, meleset dari harapan berhasil menghimpun suara lebih besar di jajaran anggota parlemen di kompleks legislatif Senayan.

Sebaliknya, menurut hasil awal dari beberapa lembaga survei, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai yang berkuasa, berhasil meraih kemenangan hat-trick.  Ini kali ketiga, berturut-turut, partai tersebut menjaring suara terbanyak untuk kursi DPR. Dukungan pada partai tetap besar meski PDIP harus berpisah dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Berdasarkan hasil hitung cepat tiga lembaga survei terpercaya yang perhitungan cepatnya mencapai lebih dari 99 persen pada Minggu 18 Februari, PDI-P yang berorientasi nasionalis memperoleh rata-rata 16 persen. Posisi berikutnya ditempati Golkar dengan 15 persen, kemudian Gerindra menyusul dengan 13 persen.

Di Indonesia, yang lembaga eksekutif dan legislatifnya sama-sama berperan aktif dalam pembuatan undang-undang, hasil pemilu legislatif akan menjadi penting dalam menentukan kekuatan dan arah pembangunan bangsa.

Meskipun hasil resmi penghitungan suara pemilu baru akan diumumkan pada 20 Maret, kita sudah dapat mengambil beberapa kesimpulan menarik dari data yang tersedia.

Pertama, kecuali Golkar yang menyalip Gerindra di posisi kedua, daftar sembilan partai politik teratas pada dasarnya tetap serupa dengan partai pada pemilu 2019.

Namun, menurut hasil hitung cepat Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Cyrus Network, dengan margin kesalahan 1 persen, hanya delapan partai yang dapat masuk DPR. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang berbasis Islam, kemungkinan gagal memenuhi ambang batas untuk mendapatkan kursi di parlemen, yaitu pengumpulan suara sebesar 4 persen.

Dengan jumlah partai politik di DPR yang genap, tidak akan ada titik temu ketika pembuatan keputusan terkait undang-undang dilakukan melalui pemungutan suara.

Sementara itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang memproklamirkan diri sebagai “partai anak muda”, kemungkinan gagal masuk parlemen dengan hanya meraih 2,67 persen suara. Kepemimpinan partai ini diambil alih oleh putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep. PSI diharapkan masuk ke dalam DPR, bahkan itulah salah satu objektif kubu Prabowo.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang sering berafiliasi dengan organisasi keagamaan terbesar di negara ini, Nahdlatul Ulama (NU), menurut CSIS memperoleh 10,88 persen suara. Sementara Partai NasDem memperoleh 9,15 persen. Kedua partai tersebut mengusung narasi perubahan, setelah memberikan dukungan kepada calon presiden Anies Baswedan.

Temuan-temuan ini menunjukkan salah satu detail paling mencolok yang menarik dalam pemilu kali ini. Bahwa kenyataannya, keberhasilan aliansi politik dalam pemilihan presiden hanya berdampak kecil pada pemilu legislatif, dan sebaliknya.

Analisis yang dilakukan di awal menunjukkan bahwa beberapa pemilih yang mendukung PDIP atau PKB, akhirnya memilih Prabowo dalam pemilihan legislatif. Pemberian suara ini dilakukan atas permintaan calon presiden dari PDIP Ganjar Pranowo dan ketua PKB Muhaimin Iskandar, yang mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden Anies.

Partai-partai yang menurut hitungan suara awal berhasil masuk dalam jajaran anggota DPR, adalah NasDem, PKB, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang mendukung Anies; Gerindra, Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat yang mendukung Prabowo; serta PDIP yang mencalonkan Ganjar.

Sejak ada hitungan awal yang menggambarkan banyaknya kursi PDIP di DPR, partai tersebut telah menyatakan kesediaannya untuk kembali berperan sebagai oposisi. Tentu jika akhirnya memang angka penghitungan suara sebenarnya sama dengan hasil hitungan awal. Hal tersebut berpotensi membawa kita kembali ke 2014, ketika sebagian besar kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jokowi menghadapi oposisi dari DPR.

Namun kubu Prabowo telah menyatakan bahwa mereka akan terbuka untuk memerintah bersama partai-partai di luar koalisinya. Kubu ini bahkan menggunakan iming-iming berupa kemungkinan penunjukan anggota kabinet. Perombakan kabinet diperkirakan akan terjadi pada awal bulan depan.

Berdasarkan pengalaman yang diperoleh selama sembilan tahun terakhir masa kepemimpinan Jokowi, bisa jadi yang terbaik adalah PDIP tidak bergabung dengan koalisi pemerintah. Jika PDIP menjadi oposisi, negara dapat mempertahankan prinsip checks and balances secara efektif. Lembaga eksekutif dan lembaga legislatif bisa saling mengontrol.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.