Dengan terlibatnya para kepala negara di kawasan ini dalam kontroversi konser, kita tentu bertanya-tanya apakah isu Taylor Swift mengancam persatuan ASEAN.
inggu ini, di Asia Tenggara menjadi saksi pertemuan yang diadakan berhari-hari. Isu-isu penting di hati dan kepala banyak orang dipertukarkan sekaligus dirayakan dalam pertemuan itu.
Tentu saja yang kita bicarakan adalah minggu-minggu konser megabintang Amerika, Taylor Swift, di Singapura. Negara tersebut jadi satu-satunya negara ASEAN yang disinggahi sang bintang. Tidak ada negara lain di wilayah tersebut yang masuk dalam daftar tur Swift yang bertajuk Eras Tour itu.
Sekitar 300.000 penggemar berat Swift, yang menyebut diri sebagai Swifties, dari seluruh wilayah regional, diperkirakan akan hadir selama enam hari pertunjukan yang terbagi dalam dua pekan, mulai Sabtu 2 Maret lalu. Semua tiket terjual habis.
Tampilnya Swift di Singapura menjadi sebuah keuntungan besar bagi negara kota tersebut. Para analis memperkirakan bahwa tujuh dari 10 penonton akan datang dari luar Singapura. Mereka menghabiskan antara $260 juta hingga $370 juta dolar Amerika untuk akomodasi, konsumsi, dan biaya jalan-jalan. Selama minggu konser, harga penerbangan menuju Singapura naik tiga kali lipat. Sedangkan harga akomodasi naik sampai hampir lima kali lipat harga normal. Konser Swift ditonton oleh 300.000 orang.
Kamar hotel di Singapura dilaporkan memasang harga 30 persen lebih mahal pada minggu ini dibandingkan harga sebelum pandemi pada 2019. Jumlah pesanan untuk atraksi dan tur di negara tersebut juga meningkat lebih dari 20 persen.
Selama beberapa hari, Swifties dari seluruh ASEAN bersatu, atau lebih spesifiknya, terkonsentrasi secara geografis di Singapura.
Linimasa media sosial penuh dengan foto dan video dari para penggemar yang memamerkan pengalaman mereka. Menghadiri konser tersebut, oleh sebagian orang, dianggap sebagai kesempatan sekali seumur hidup.
Meski sulit diterima, tetapi sebagian besar penggemar dapat memahami keputusan Swift hanya konser di satu negara saja di ASEAN. Lagi pula, tidak ada alasan menolak Singapura menjadi satu-satunya tempat menggelar konser. Singapura adalah negara dengan perekonomian yang paling maju di ASEAN.
Bagaimana pun, konser yang menampilkan bintang sebesar Swift harus diselenggarakan dengan standar tertinggi. Dan, di skala regional, hanya Singapura yang bisa memenuhi standar tersebut, bukan?
Setidaknya alasan semacam itulah yang ada di pikiran para Swifties di Asia Tenggara, dan diterima oleh pemerintahnya.
Kemudian muncul laporan dari Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin, bahwa Singapura menawarkan pada Swift uang kompensasi hingga $3 juta per konser, jika dia setuju untuk tidak tampil di tempat lain di Asia Tenggara.
Srettha mengatakannya saat hadir di forum bisnis di Bangkok pada 19 Februari. Ia menyebut bahwa promotor konser global Anschutz Entertainment Group (AEG) telah memberitahukan kesepakatan yang dicapai dengan Swift, terkait imbalan atas eksklusivitas. “Jika saya tahu sejak dulu, saya akan bawa pertunjukan tersebut ke Thailand,” ujarnya seperti dikutip The Bangkok Post.
Pekan lalu, seorang anggota parlemen Filipina juga mengkritik Singapura. Ia mengatakan bahwa menampilkan Swift secara eksklusif bukanlah “tindakan yang dilakukan negara tetangga yang baik”.
Perwakilan distrik Filipina Joey Salceda bahkan meminta Departemen Luar Negeri untuk menanyakan pada Duta Besar Singapura untuk Filipina tentang klaim eksklusivitas tersebut.
Pada Selasa 5 Maret, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong ikut campur. Ia membela pengaturan rahasia terkait eksklusivitas konser Swift. Lee menyampaikan hal tersebut pada KTT Khusus ASEAN-Australia di Melbourne. Di tengah KTT yang biasanya lebih disibukkan dengan masalah keamanan dan pertumbuhan ekonomi, pernyataan Lee jadi hal yang menggelikan.
"Kesepakatan telah tercapai. Dan ternyata ini merupakan kesepakatan yang sangat sukses. Saya tidak melihat hal itu sebagai tindakan yang tidak bersahabat," kata Lee dalam konferensi pers bersama mitranya dari Australia.
Pada Kamis 7 Maret, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ikut bersuara dalam perselisihan acara budaya tersebut. Ia menyerukan bahwa Indonesia juga harus bisa menggaet kesepakatan eksklusif serupa di masa depan, untuk menyamai kontrak Swift di Singapura.
“Apa yang bisa diberikan Singapura, akan kita berikan juga. Kita harus berani berkompetisi. Kalau Singapura bisa untung, kenapa kita tidak?” kata Luhut yang mantan utusan Indonesia untuk Singapura tersebut. Ia mengatakan hal itu dalam sebuah forum bisnis di Bali.
Dengan terlibatnya para pemimpin negara di kawasan ini dalam kontroversi soal konser ini, kita tentu bertanya-tanya apakah isu Taylor Swift akan mengancam persatuan ASEAN.
Setelah gemerlap pesta mereda, para pakar dan analis mungkin akan segera memberi kita perspektif atau wawasan yang lebih baik tentang yang sedang terjadi. Universitas-universitas yang menawarkan kelas-kelas yang membahas Taylor Swift tentu dapat membantu.
Mari berharap para Swifties dapat menikmati pertunjukannya dan menyimpan kenangan perjalanannya. Selain itu, mari berharap juga bahwa pemerintah Singapura mendapatkan yang mereka harapkan dan pemerintah ASEAN lainnya dapat mengambil pelajaran untuk masa depan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.