Percuma berharap MK akan mengeluarkan keputasan yang berbeda terkait beberapa gugatan yang diajukan sebagai sengketa pemilu. Memang, hasil akhir dapat menghindarkan negara dari kekacauan politik. Tapi, tetap ada pertanyaan: siapa pecundang yang sesungguhnya?
ampir mustahil mengharapkan Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengeluarkan putusan selain yang sudah dijatuhkan pada Senin 22 April kemarin. Tetapi, bagaimanapun, keputusan yang kemarin diumumkan adalah hal paling penting yang pernah dikeluarkan MK selama hampir dua dekade keberadaannya.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, MK harus mengambil beberapa keputusan sulit. Paling tidak ada tiga, yaitu apakah akan memerintahkan pemungutan suara ulang untuk pemilihan presiden, membatalkan kemenangan Prabowo Subianto, atau mendiskualifikasi Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden kubu Prabowo, jika terjadi pemilihan ulang.
Bahkan jika pengadilan memutuskan untuk memenangkan salah satu saja dari gugatan sengketa pemilu yang diajukan, bisa dipastikan akan memicu serangkaian peristiwa yang berujung pada kekacauan sistem politik Indonesia.
Sebelum ini, MK pernah memutuskan mengadakan pemungutan suara ulang, dalam salah satu pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten. Namun, memerintahkan pemilihan ulang presiden secara nasional adalah masalah yang sama sekali berbeda dengan pemilihan bupati. Konsekuensinya bisa macam-macam.
Membatalkan kemenangan pemilu yang telah diperoleh Prabowo, yang baru-baru ini melakukan kunjungan diplomatic berkeliling Asia Timur, akan menjadi langkah yang terlalu berlebihan. Pembatalan juga berpotensi memicu gejolak politik baru.
Mendiskualifikasi Gibran sebagai calon wakil presiden bisa jadi tampak sebagai pilihan politik yang paling masuk akal. Namun, jika melakukan hal tersebut, artinya MK melanggar sendiri putusannya pada Oktober 2023. Saat itu, MK menurunkan batas usia minimal untuk calon presiden dan calon wakil presiden. Adanya perubahan aturan batas usia ini memungkinkan putra Presiden Joko “Jokowi” Widodo tersebut mencalonkan diri.
Terlebih lagi, bahkan kandidat yang mengajukan sengketa hasil pemilu, tidak yakin bahwa tuntutan hukum mereka akan berhasil. Mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan dan mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang mengajukan gugatan, adalah calon yang sama-sama kalah.
Secara pribadi, pengacara dan staf kampanye mereka mengakui bahwa peluang Anies dan Ganjar untuk mencapai hasil yang menguntungkan sangatlah kecil. Mereka menekankan bahwa mengajukan sengketa pemilu ke MK adalah bagian dari tugas sipil mereka dalam menjaga agar demokrasi di Indonesia tidak semakin merosot.
Yang paling mungkin mereka harapkan hanyalah perbedaan pendapat, yang lebih dikenal sebagai dissenting opinion, dari hakim-hakim progresif seperti Saldi Isra atau Enny Nurbaningsih. Dua hakim ini punya rekam jejak panjang dalam mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan hati nurani.
Seperti sudah diduga, Saldi melontarkan dissenting opinion yang mengkritik Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurutnya, KPU gagal menegakkan prinsip keadilan dalam pemilu presiden tahun ini. Dia juga mengecam Presiden Jokowi karena penyalahgunaan kekuasaan dengan memanipulasi pejabat negara serta memanfaatkan distribusi bantuan sosial yang mempengaruhi hasil pemilu pada 14 Februari.
Selain itu, Saldi mengkritisi praktik yang berlaku saat ini, yaitu yang hanya mengizinkan MK mengadili gugatan hukum terkait hasil pemilu. Ia mengusulkan agar di masa mendatang MK tidak hanya menangani sengketa pemilu namun juga kasus-kasus yang berhubungan dengan proses pemilu secara menyeluruh, termasuk perkara etika dalam pelaksanaan pemilu serta eksekusi pemilu itu sendiri.
Sebagai penutup, Saldi menuliskan agar dilakukan pemungutan suara ulang di daerah-daerah pemilihan yang ditengarai menjadi lokasi pelanggaran pemilu.
Tentu saja, apa pun pendapat Saldi, tidak akan ada yang berubah. Yang disampaikan Saldi hanya merupakan tamparan keras bagi mereka yang ikut campur dalam “perayaan demokrasi” tahun ini. Hal itu sekaligus hadiah hiburan bagi kandidat yang kalah, setelah dua bulan melalui proses pertarungan hukum yang melelahkan.
Mayoritas dari sembilan hakim agung berpendapat bahwa mereka seharusnya hanya mengadili pemilu 2024 dari sisi konstitusional dan legal.
Dalam putusan akhir pada Senin kemarin, lima hakim mengerucutkan fokus mereka pada masalah pencalonan Gibran, sah atau tidak menurut peraturan yang ada. Kemudian dari sisi prosedur, apakah KPU telah mengambil langkah yang semestinya dalam mensertifikasi calon. Lalu, apakah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah merespon keluhan terkait keberpihakan pemerintah dalam pemilu dengan tindakan yang benar.
Masalah seputar Pilpres 2024 lebih dari sekadar pelanggaran aturan yang berlaku. Sesungguhnya, masalah Pilpres 2024 lebih besar dari itu, karena menunjukkan kurangnya etika dan kepatutan.
Sayangnya, mayoritas hakim MK hanya tutup mulut dan mengabaikan hal tersebut.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.