TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Mengelak dari kewajiban

Jumlah kursi perguruan tinggi di negara ini, baik yang gratis maupun berbayar, tidak cukup untuk memenuhi tuntutan visi 2045. Juga tidak memadai bagi rencana membentuk “generasi emas” saat negara ini menginjak usia 100 tahun.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, June 3, 2024 Published on Jun. 2, 2024 Published on 2024-06-02T12:35:30+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Mengelak dari kewajiban University students hold a banner while resting on a main road to protest against proposed government labor reforms in this undated file photo. (Reuters/Willy Kurniawan)
Read in English

S

eminggu lalu, terjadi pembatalan rencana dikenakannya uang kuliah tunggal (UKT) untuk universitas-universitas negeri. Upaya pembatalan dipimpin oleh badan-badan mahasiswa yang marah, serta diperkuat oleh media sosial.

Kami menyambut baik keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim untuk menunda kenaikan biaya kuliah tersebut. Ia berencana bertemu dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo lebih dulu, dan mengadakan pembicaraan terpisah dengan para rektor universitas negeri.

Kebijakan ini diterapkan tanpa mempertimbangkan, sekaligus tidak peka terhadap, tantangan ekonomi yang dihadapi sebagian besar generasi muda saat ini. Tingginya inflasi dan kenaikan biaya hidup menggerogoti kemampuan keluarga mereka untuk membiayai pendidikan.

Tidak mengherankan jika komentar seorang pejabat kementerian mengenai pendidikan tinggi sebagai sebuah kebutuhan tersier meresahkan banyak orang. Semakin menggelisahkan, terutama setelah pemerintah berusaha memaksakan visi “Indonesia Emas” pada 2045.

Memang, sementara ini, ada penundaan kenaikan biaya kuliah. Namun, tindakan Nadiem tidak banyak membantu menyelesaikan masalah. Jokowi hanya menyerahkan tanggung jawab tersebut pada pemerintahan baru Prabowo Subianto, ketika ia memperkirakan bahwa biaya sekolah akan mulai meningkat tahun depan.

Setidaknya penundaan ini memberi kita waktu untuk berkontemplasi secara kolektif memikirkan masa depan sektor pendidikan kita.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Dalam catatan sejarah, upaya pemerintah untuk mengembangkan pendidikan tinggi, yang tersier, mendorong pemerintah memerintahkan universitas-universitas negeri untuk mengurus keuangan mereka sendiri sejak 1999. Sementara itu, negara bisa fokus pada subsidi pendidikan dasar dan menengah.

Keputusan tersebut, 25 tahun yang lalu, secara efektif mengubah pendidikan tinggi menjadi prioritas tersier. Karena itu, pendidikan tinggi merupakan salah satu sektor dengan alokasi anggaran negara sebesar 20 persen. Tahun ini, jumlahnya sekitar Rp665 triliun ($43,2 miliar dolar Amerika). Sayangnya, tidak semuanya digunakan untuk pembangunan pendidikan tinggi.

Semua fakta itu menunjukkan akar permasalahan yang enggan diakui oleh pemerintah. Indonesia adalah negara yang terlalu besar dengan jumlah penduduk yang terlalu banyak. Sangat sulit menjamin pendidikan tinggi bagi semua orang.

Berkaca pada situasi di luar negeri, kita mungkin berpikir bahwa satu-satunya cara untuk membiayai pendidikan bagi semua orang adalah dengan meliberalisasi universitas. Kita juga bisa meminta sektor swasta mengambil peran yang lebih besar dalam memperluas sumber daya manusia yang berbakat. Lagi pula, para pengusaha juga mendapat manfaat dari hadirnya tenaga kerja profesional dalam jumlah yang lebih besar.

Sekilas melihat Singapura atau Australia, lokasi beberapa universitas terbaik di kawasan ini, mungkin tampak mengesankan bahwa pendidikan sebaiknya diserahkan pada kekuatan pasar. Siswa menerima jaringan istimewa dan fasilitas kelas dunia mereka, kemudian kembali ke rumah membawa pengetahuan untuk membantu pembangunan nasional.

Namun, ketika menyelaraskan permasalahan ini dengan konteks Indonesia, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa pendidikan kelas dunia perlu fasilitas berkualitas, talenta pengajar yang luar biasa, dan dukungan finansial yang berkesinambungan agar dapat terlaksana.

Kita juga harus membandingkan kecilnya populasi pelajar di Singapura atau Australia, jika disejajarkan dengan jumlah penduduk di Indonesia yang masih butuh pendidikan dasar.

Jumlah kursi perguruan tinggi di negara ini, baik gratis maupun tidak, tidak mencukupi untuk memenuhi tuntutan visi 2045. Jumlah kursi tersebut juga kurang untuk membentuk generasi emas pada saat negara ini menginjak usia 100 tahun.

Dengan kegagalan dalam memenuhi kebutuhan subsidi pendidikan tinggi, tidak mengherankan jika perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH) terpaksa memikirkan cara mencari keuntungan, lalu membebankan sebagian biayanya kepada mahasiswanya.

Sungguh tidak ada artinya saat melihat bahwa pendidikan kelas dunia yang dilalui Nadiem kemudian hanya sekadar menguatkan fakta bahwa uang masih jadi kunci utama.

Jika pemerintah mendatang benar-benar ingin mewujudkan janji kesinambungannya, sebaiknya mulai menunjukkan tekad di bidang pendidikan tinggi. Pemerintah mendatang perlu memastikan bahwa  visi generasi Indonesia Emas 2045 bisa terwujud.

Sebaiknya kita menyeimbangkan politik kesejahteraan rakyat dengan kebutuhan untuk menyediakan lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya sektor pendidikan tinggi.

Pendidikan tinggi terlalu penting untuk dibiarkan hanya dituntun oleh kepentingan sempit perusahaan swasta. Pemerintahan mendatang harus menaruh perhatian dan mempertimbangkan mencari menteri yang kompeten, untuk memimpin transformasi sektor ini dalam jangka menengah dan panjang.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank you

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.