Pemerintah sebaiknya melihat ulang daya saing industri dalam negeri dan bukannya fokus pada pembatasan impor.
ak ada satu hari pun berlalu tanpa cerita tentang “membanjirnya” produk dari Tiongkok. Meresponnya, terdapat seruan untuk menerapkan pembatasan impor yang protektif. Dalam hal ini, Indonesia tidak ada bedanya dengan Amerika Serikat atau Eropa. Yang membedakan adalah jenis produk yang dianggap sebagai ancaman.
AS baru-baru ini mengenakan bea masuk baru yang sangat tinggi pada panel surya, baterai, dan kendaraan listrik (EV) Tiongkok, menambah panjang daftar barang yang dikenai macam-macam tindakan. UE pun segera menerapkan tarif anti-Tiongkok yang diaplikasikan terhadap kendaraan listrik, meskipun hal itu membuat raksasa pembuat mobil dari Jerman berpikir ulang.
Dan kini Indonesia merencanakan bea masuk sebesar 100 hingga 200 persen terhadap berbagai barang asal Tiongkok, terutama pakaian dan produk tekstil.
Menggaungkan klaim dari Washington dan Brussels, Jakarta menjelaskan langkah tersebut sebagai jalan yang perlu ditempuh untuk “melindungi bisnis lokal” dari “kelebihan pasokan” barang Tiongkok.
Untungnya, Tiongkok belum membalas. Memang belum, tapi tidak ada yang tahu berapa lama Beijing akan bersabar.
Sementara itu, Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang malang menyaksikan pemerintah-pemerintah dengan marah mengabaikan prinsip-prinsip perdagangan bebas. Para pendukung lama konsep ini pasti sangat terkejut. Adam Smith, apakah kamu menyaksikan?
Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) telah menyatakan kekhawatirannya atas rencana tindakan tersebut. Sikap yang tidak mengejutkan. Namun, mereka masih punya alasan kuat untuk memperingatkan bahwa mengenakan tarif besar akan mendorong terjadinya penyelundupan.
Yang lebih penting lagi, benar yang disarankan oleh Ketua GINSI Subandi. Menurutnya, pemerintah perlu menilai daya saing industri dalam negeri dan perlu mempelajari “mengapa produk kita lebih mahal, sehingga menyebabkan masyarakat memilih produk impor yang lebih murah.”
Tidak dapat disangkal bahwa sektor manufaktur Indonesia pernah mengalami masa-masa yang lebih baik.
Dalam beberapa tahun terakhir, pembentukan modal tetap bruto di Indonesia tertinggal jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Tren porsi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) secara keseluruhan menurun. Hal itu menunjukkan adanya deindustrialisasi dalam perekonomian secara bertahap.
Suasana di pabrik pasti suram karena indeks manajer pembelian manufaktur (purchasing managers’ index atau PMI) turun ke level terendah dalam 13 bulan terakhir. Angkanya mencapai 50,7 pada bulan Juni, menurut data yang diterbitkan oleh S&P Global pada Senin kemarin.
Kementerian Perindustrian memanfaatkan laporan PMI untuk merasionalisasi naluri proteksionisnya. Juru bicara kementerian mengatakan bahwa saat ini sektor industri “dalam kondisi yang mengkhawatirkan”.
Tapi bukankah tugas Kementerian Perindustrian memastikan sektor ini kuat dan sehat?
Penilaian yang dilakukan oleh kementerian atas penderitaan yang dialami produsen lokal ini tidak hanya sekadar menyalahkan impor. Namun, juga harus mencakup identifikasi kekurangan yang ada di dalam negeri.
Menyerahkan tanggung jawab kepada Kementerian Perdagangan tidak akan menyelesaikan masalah. Ketika para industrialis yang panik datang ke kementerian untuk meratapi “banjir impor” dari Tiongkok, kementerian perlu memberitahu mereka agar mengambil tindakan bersama, dan kemudian membantu mereka melakukan hal tersebut.
Betul, peraturan perlu diubah untuk mencapai hal tersebut, termasuk peraturan di bawah kementerian lain. Namun, perubahan tersebut harus diarahkan untuk membuat produsen lokal lebih kompetitif. Pembatasan perdagangan yang protektif membuat tidak ada orang yang lebih kompetitif satu sama lain. Sebaliknya, pembatasan menghilangkan kebutuhan untuk menjadi kompetitif.
Bukan berarti tidak ada alasan yang baik untuk melakukan pembatasan perdagangan. Ada banyak alasan bagus, termasuk masuknya produk dari negara lain, jika terdapat bukti yang dapat dipercaya mengenai adanya subsidi atau dumping yang tidak adil.
Tapi marilah bicara jujur. Banyak pabrikan kita yang tidak kompetitif dan gagal bertahan melawan pesaing Tiongkok, bahkan dalam situasi yang paling adil sekalipun.
Bea masuk dapat memberi kita waktu. Namun, kita harus manfaatkan waktu tersebut untuk membangun kapasitas industri tekstil dalam negeri dengan meningkatkan logistik, tenaga kerja, dan rantai pasokan. Kita juga harus memastikan produsen kita dapat mengimpor apa saja yang mereka butuhkan agar tumbuh lebih kuat.
Tentu, diperlukan investasi yang tidak sedikit. Pekan lalu, pemerintah mengumumkan bahwa investor Indonesia, Tiongkok, dan Singapura tertarik membangun pabrik tekstil di Indonesia. Pabrik-pabrik tersebut akan mempekerjakan puluhan ribu orang.
Siapa bilang kita tidak bisa bersaing?
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.