Saat negara bersiap untuk transisi pemerintahan pada Oktober mendatang, sistem kesehatan kita perlu melipatgandakan persiapan menghadapi potensi wabah mpox di tanah Indonesia.
aru setahun sejak dunia dinyatakan bebas dari pandemi COVID-19. Namun kesenangan lepas dari pandemi ternyata berumur pendek. Pasalnya, saat ini kita menghadapi masalah kesehatan darurat lainnya akibat cacar monyet, atau mpox.
Meskipun ini bukan pertama kalinya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan keadaan darurat kesehatan masyarakat akibat virus mpox, situasi saat ini jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan peringatan terkait mpox sebelumnya, di tahun lalu.
Berkat perkembangan virus baru yang diidentifikasi sebagai clade Ib, penyakit ini telah menyebar lebih jauh dan lebih cepat. Hingga minggu lalu, beberapa kasus penularan mpox baru yang dikonfirmasi atau diduga terjadi telah terdeteksi di Filipina dan Thailand. Dua negara ini berjarak 10.000 kilometer jauhnya dari pusat awal wabah di Afrika Tengah.
Menurut WHO, mpox mungkin bukan jenis lain COVID-19. WHO pun yakin mereka sekarang lebih tahu cara mengendalikan penyakit tersebut. Namun, kemampuan WHO itu bukan alasan bagi kita untuk jumawa dan menurunkan kewaspadaan terhadap kesehatan masyarakat.
Selain tingkat virulensinya yang lebih tinggi, kekhawatiran lainnya adalah bahwa tingkat keparahan penyakit akibat varian mpox baru mungkin lebih tinggi dan menyebabkan lebih banyak kematian. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (The United States Centers for Disease Control and Prevention atau CDC) mencatat bahwa tingkat kematian beberapa wabah akibat varian baru tersebut hingga 10 persen.
Perkiraan baru menyebutkan kisaran median pada 3 persen. Artinya, masih lebih tinggi dari tingkat kematian 0,2 persen yang tercatat untuk wabah pada 2022. Saat itu, sebagian besar penyakit disebabkan oleh strain clade II yang lebih ringan dan kurang menular.
Kementerian Kesehatan mengatakan sedang mengintensifkan upaya pencegahan dan mitigasi, termasuk menyiapkan laboratorium untuk menguji kasus yang diduga sebagai mpox. Kementerian juga meningkatkan pasokan vaksin.
Namun, ada kemungkinan langkah-langkah tersebut gagal.
Kementerian hanya memiliki sekitar 4.500 dosis vaksin yang tersedia. Vaksin sejumlah itu cukup untuk melindungi 2.250 orang yang berisiko. Meskipun jumlah ini 78 persen lebih tinggi dari 495 orang yang divaksinasi tahun lalu, para ahli mendorong tersedianya lebih banyak dosis vaksin untuk memvaksinasi ratusan ribu kelompok berisiko. Di antara mereka adalah orang dengan HIV dan penyakit penyerta, serta orang lanjut usia.
Otoritas kesehatan juga harus lebih proaktif dalam menjangkau kelompok-kelompok ini. Mereka tidak boleh hanya berdiam diri, menunggu para warga berisiko untuk datang dan minta disuntik.
Pernyataan WHO baru-baru ini tentang mpox sebagai keadaan darurat kesehatan global juga menimbulkan pertanyaan terkait kesiapan Indonesia, jika ada wabah yang menyerang lagi, apa pun penyakitnya.
Pertanyaan soal wabah menjadi “kapan terjadi” dan bukan “apa yang terjadi.” Tidak ada yang mustahil terjadi akibat adanya krisis iklim, degradasi lingkungan, dan mobilitas global orang dan barang yang tinggi, di antara faktor-faktor lainnya.
Sejak COVID-19, para ahli telah meragukan kesiapan sistem kesehatan negara untuk menangani pandemi lain. Lebih buruk lagi, pemerintah telah melikuidasi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, laboratorium penelitian ternama yang berperan penting dalam mengidentifikasi patogen mikroskopis yang telah menyebabkan wabah dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah dapat mengklaim bahwa lembaga Eijkman masih ada sebagai bagian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sayangnya, BRIN tidak berfungsi dengan baik. Banyak peneliti di dalamnya terlalu sibuk berkutat dengan birokrasi dan berjibaku dengan kecemasan hidup memikirkan minimnya gaji pegawai pemerintah.
Kementerian Kesehatan mungkin juga berpendapat bahwa negara kita sekarang telah memiliki peraturan pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan yang baru ditandatangani. Undang-undang tersebut memang dapat menjadi pedoman untuk menangani pandemi berikutnya. Tetapi, kita perlu tindakan cepat dan nyata untuk mengurangi keparahan wabah berikutnya, serta mengatasi dampaknya.
Kita tidak dapat bergantung pada pemerintahan, jika mereka tidak berdaya. Terutama karena pemerintah harus bertanggung jawab telah melemahkan lembaga kesehatan kita melalui aksi politik mendirikan BRIN.
Karena itu, semua menunggu langkah presiden terpilih Prabowo Subianto. Ia diharapkan bergerak cepat untuk memperkuat pertahanan kesehatan masyarakat kita terhadap ancaman patologis apa pun. Bagaimana pun, kita tidak dapat menunggu hingga mpox mulai menyebar secara lokal dan menelan banyak korban jiwa seperti yang terjadi di Afrika.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.