Kamis lalu, selain melampiaskan kemarahan atas revisi UU Pilkada, masyarakat juga meluapkan kekesalan mendalam terhadap Jokowi yang telah melakukan segala cara untuk memperkuat dinasti politiknya.
residen Joko "Jokowi" Widodo dan partai politik pendukungnya mungkin mengira bahwa mereka bisa melakukan apa pun, lalu lolos begitu saja. Namun, jelas mereka salah kira.
Pekan ini bisa jadi adalah pekan yang paling bergejolak di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Kamis 22 Agustus, protes nasional meletus. Demonstran memprotes DPR yang berupaya meloloskan amandemen UU Pemilihan kepala daerah (pilkada), yang akan mengkhianati prinsip dasar Indonesia sebagai negara hukum.
Partai-partai politik, yang hampir semuanya berpihak pada Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukung presiden terpilih Prabowo Subianto, telah mendorong revisi yang akan memperkuat dominasi mereka dalam pilkada November mendatang. Revisi tersebut memungkinkan putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, untuk maju dalam pemilihan gubernur.
Para demonstran berupaya membatalkan dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikeluarkan untuk mencegah praktik kartel politik oleh KIM. Koalisi, misalnya, telah bersatu untuk memblokir kesempatan partai lawan dalam mengajukan calon kandidatnya.
KIM juga berupaya mencalonkan Kaesang yang berusia 29 tahun sebagai calon wakil gubernur di Jawa Tengah. Putusan MK tersebut menguatkan ketentuan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang menetapkan batas usia calon adalah 30 tahun.
Langkah amandemen DPR tersebut berujung pada pembangkangan sipil. Orang-orang dari semua lapisan masyarakat, mulai dari mahasiswa hingga profesional, mengorganisasi diri dalam hitungan jam dan turun ke jalan untuk melawan penghinaan elit penguasa terhadap putusan MK, yang bersifat final dan mengikat.
Ini adalah gelombang protes terbesar yang pernah terjadi di negara ini sejak demonstrasi menentang Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019.
Selain melampiaskan kemarahan mereka atas revisi UU Pilkada, pada Kamis tersebut, masyarakat juga menumpahkan kekesalan mereka yang mendalam terhadap Jokowi. Presiden dianggap telah melakukan segala cara untuk memperkuat dinasti politiknya.
Banyak yang terkejut ketika putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang sebelumnya dianggap tidak memenuhi syarat untuk maju dalam pemilihan presiden, menjadi pasangan Prabowo. Kemudian, pasangan tersebut menang, terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.
Keadaan mungkin akan lebih buruk pada Kamis kemarin jika Jokowi dan sekutunya di DPR bersikeras mengkhianati rakyat. Jika mereka teguh membengkokkan hukum untuk kemenangan kepentingan mereka sendiri, pasti akan terjadi kerusuhan yang lebih besar.
Sebagai tanggapan langsung terhadap protes tersebut, Gerindra menarik kembali revisi undang-undang tersebut. Partai tersebut yang bertanggung jawab atas sidang paripurna DPR untuk mengesahkan revisi undang-undang tanpa kehadiran banyak politisi, termasuk dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Gerindra kemudian juga membatalkan pencalonan Kaesang dan menggantinya dengan Taj Yasin Maimoen dari Partai Persatuan Pembangunan, mantan wakil gubernur Jawa Tengah.
DPR dan pemerintah menyatakan akan mematuhi putusan MK. Semoga mereka menepati janji itu.
Sebagai partai politik yang dipimpin oleh presiden terpilih, komitmen Gerindra akan memastikan transisi pemerintahan yang lancar pada Oktober mendatang. Komitmen tersebut juga menjamin pemilihan kepala daerah yang adil dan damai pada November.
Budaya patronase yang mengakar dalam sistem politik Indonesia mengharuskan partai lain untuk mendukung calon kepala daerah yang diajukan Gerindra. Harapannya, partai-partai tersebut mendapat posisi di dalam kabinet Prabowo yang akan datang. Gerindra dapat menghilangkan tren tersebut dengan membatasi intervensinya, dan membiarkan anggota KIM mencalonkan kandidat mereka sendiri. Dampaknya, mungkin saja Gerindra akan kalah di beberapa ajang pilkada. Namun, hal itu memungkinkan kandidat yang mendapat dukungan rakyat untuk ikut serta dalam pemilihan.
Dengan membiarkan demokrasi tumbuh subur, Gerindra dan presiden terpilih akan mendapat dukungan yang lebih kuat dari rakyat Indonesia. Kepercayaan publik yang kuat akan menciptakan stabilitas politik dan ekonomi yang dibutuhkan pemerintahan Prabowo.
Sebagai mantan menantu Soeharto, diktator yang dipaksa mengundurkan diri karena pemberontakan rakyat pada 1998, Prabowo telah menempuh perjalanan panjang. Ia tidak boleh membiarkan dirinya kembali lagi berada di sisi sejarah yang salah.
Sebagai calon pemimpin, Prabowo harus berdiri bersama rakyat dan melindungi mereka dengan segala cara.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.