Asumsi umum mengatakan bahwa selama kelas menengah baik-baik saja, Indonesia akan baik-baik saja. Namun, bagaimana jika bukan itu yang terjadi?
nvestor di Indonesia selalu memuji "kelas menengah yang sedang berkembang" sebagai salah satu dari beberapa potensi yang dimiliki negara ini. Kelas menengah itu sering dianggap sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Mereka juga dijadikan daya tarik utama bagi investor perusahaan yang fokus pada pasar konsumen lokal.
Asumsi umum mengatakan, selama kelas menengah baik-baik saja, Indonesia akan baik-baik saja. Namun, bagaimana jika tidak semuanya baik-baik saja dan kelas menengah Indonesia tidak lagi bertambah banyak?
Beberapa angka yang dibagikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada akhir Agustus lalu tampak menunjukkan kekhawatiran itu. Menurut data terbaru, tahun ini, 17,1 persen orang Indonesia termasuk dalam kelas menengah. Artinya, jumlah kelas menengah turun dari 21,5 persen pada 2019. Sementara itu, porsi mereka yang berada di bawah kelas menengah semakin besar.
Saat bersiap menghadapi masa-masa penuh ketidakpastian di masa depan, banyak warga Indonesia kelas menengah di Jakarta dan sekitarnya berusaha menekan pengeluaran mereka. Sedapat mungkin, yang mereka keluarkan sangat sedikit. Mereka juga menahan diri sebisanya untuk tidak menghabiskan banyak uang, meskipun bisa. Masalahnya, perbedaan di antara keduanya sangatlah tipis.
Dengan kata lain, butuh perjuangan untuk dapat mempertahankan gaya hidup urban di ibu kota. Jika pernyataan tersebut terdengar mengejutkan, bisa saja karena adanya gagasan salah kaprah di benak kita tentang yang disebut sebagai kelas menengah di Indonesia.
Pemerintah mendefinisikan kelas menengah sebagai mereka yang menghabiskan antara Rp2,04 juta (kurang dari $132 dolar Amerika) dan Rp 9,91 juta per bulan.
Dengan kata lain, siapa pun yang menghabiskan Rp10 juta atau lebih per bulan akan masuk golongan kelas atas. Padahal, sangat diragukan bahwa mereka yang menghabiskan Rp10 juta atau Rp11 juta akan merasa sebagai "kelas atas" atau menyebut diri mereka dengan label itu. Paling tidak, hal itu tidak terjadi di Jakarta, meski bukan tidak mungkin terjadi di desa-desa terpencil.
Selain itu, lebih dari 80 persen orang Indonesia termasuk golongan yang berada di bawahnya. Hal ini mungkin mengejutkan, mengingat begitu banyaknya pembicaraan yang ambisius tentang kelas menengah Indonesia.
Para ahli statistik telah mencoba meletakkan harapan positif terhadap mereka yang berada di bawah golongan kelas atas. Hampir setengah dari masyarakat negara ini dimasukkan dalam kategori "calon warga kelas menengah".
Sulit untuk memutarbalikkan fakta bahwa sepertiga orang Indonesia bahkan tidak termasuk dalam kelompok calon warga kelas menengah. Namun, menyebut sebagian besar dari mereka sebagai masyarakat yang "rentan terhadap kemiskinan" dan bukan sekadar menyebut "miskin" akan memperhalus keadaan yang sebenarnya.
Klasifikasi warga berbasis pengeluaran menjadi sesuatu yang masuk akal untuk kondisi negara dengan sektor informal yang demikian besar. Meskipun, bisa saja hal tersebut salah menggambarkan kenyataan hidup beberapa orang. Toh, ada masyarakat yang kondisinya tidak seburuk yang ditunjukkan oleh tingkat pengeluaran mereka.
Beberapa orang dewasa usia muda di Jakarta memilih untuk tinggal bersama orang tua mereka. Pilihan itu mereka ambil meskipun mereka punya penghasilan solid, yang memungkinkan mereka mempertahankan gaya hidup yang tidak mampu ditanggung oleh rekan-rekan mereka yang lain, Yaitu mereka yang harus membayar perumahan sambil tetap berupaya menabung. Bagaimana pun, jumlah pengeluaran sebagian besar warga Jakarta cukup mendekati besarnya pendapatan mereka.
Perlu dicatat bahwa sebagian besar konsumen kelas menengah berada di kisaran bawah dari kategori pendapatan Rp2 juta hingga Rp10 juta yang digunakan sebagai standar. Jadi, ketika kita berbicara tentang kelas menengah Indonesia pada umumnya, kita harus membayangkan seseorang yang menghabiskan Rp4 juta per bulan, dan bukan yang mengeluarkan Rp8 juta per bulan.
Banyak kelas menengah Indonesia yang harus menghidupi anak-anak dan orang tua mereka sekaligus. Fenomena ini disebut sebagai generasi sandwich.
Lebih jauh lagi, pengeluaran bulanan warga kelas menengah tidak banyak merepresentasikan konsistensi pendapatan seseorang, juga tidak bisa dijadikan indikator kestabilan pemasukan. Banyak pekerja lepas, atau karyawan sektor informal lain, yang mungkin masuk dalam rata-rata kelas menengah, tetapi kondisi ini tidak terjadi setiap bulan.
Tidak mengherankan jika warga kelas menengah Jakarta mengatakan kepada surat kabar ini, bahwa mereka merasa tidak aman secara finansial. Mereka merasa harus selalu waspada terhadap kejadian tak terduga, yang dapat merampas kenyamanan material, sesederhana apa pun yang saat ini mereka nikmati.
Kelas menengah memang penting bagi perekonomian Indonesia, dan pemerintah harus berusaha membantu lebih banyak orang agar bisa menjadi warga kelompok itu. Tetapi kenyataannya, bahkan mereka yang sudah termasuk kelompok kelas menengah pun sering kali harus berjuang untuk bertahan hidup sampai tanggal gajian berikutnya. Beberapa bahkan punya kecemasan akan dikeluarkan dari golongan kelas menengah.
Lain kali, jika ada yang memperbincangkan kelas menengah Indonesia yang konon berkembang pesat, hal itulah yang harus selalu diingat.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.