Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) telah mencatat 36 kasus kekerasan terhadap siswa sepanjang tahun ini. Sebagian besarnya, sekitar 53 persen, diduga dilakukan oleh pendidik.
Dalam benak setiap orang tua, sekolah dianggap sebagai tempat yang aman bagi anak-anak mereka untuk tumbuh menjadi manusia yang bertanggung jawab dan bermartabat. Tidak ada orang tua yang berharap bahwa pendidik, yang seharusnya bertindak sebagai wali bagi anak-anak, untuk memberikan contoh buruk, apalagi menghancurkan masa depan dan kehidupan anak-anak tersebut.
Namun, mimpi buruk bahwa sekolah merusak anak tampaknya perlahan, namun pasti, merayap menjadi kenyataan. Laporan terbaru tentang perlakuan buruk oleh pendidik, termasuk guru dan kepala sekolah, semakin hari semakin banyak. Bulan lalu, tiga insiden kekerasan yang diduga dilakukan oleh guru terhadap siswanya di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi menjadi berita utama, terutama karena dua dari kasus tersebut mengakibatkan kematian.
Di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, seorang siswa SMP berusia 14 tahun yang diidentifikasi hanya dengan inisial RSS, meninggal pada 26 September. Si siswa dihukum fisik oleh seorang guru. Sang guru, yang statusnya kontrak, memaksanya melakukan squat-jump 100 kali, seminggu sebelumnya. Hukuman itu mengakibatkan cedera parah pada kakinya.
Pada 15 September, seorang siswa pesantren berusia 13 tahun di Blitar, Jawa Timur, yang hanya dikenal sebagai MKA, diduga meninggal karena cedera kepala. Seorang guru melempar MKA dengan papan kayu, yang ada paku mencuat, saat mendisiplinkan siswa yang mengabaikan instruksinya agar bersiap-siap dengan baik pada hari malang itu.
Insiden di Gorontalo, Sulawesi, meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, telah menyebabkan pukulan ganda bagi korban. Gadis berusia 17 tahun tersebut, dalam rekaman video, tampak dilecehkan secara seksual oleh seorang guru. Video tersebut telah menjadi viral di platform media sosial.
Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGRI) telah mencatat 36 kasus kekerasan terhadap siswa sepanjang tahun ini. Sebagian besar kasus, sekitar 53 persen, diduga dilakukan oleh pendidik.
Selama bertahun-tahun, laporan tentang pendidik yang melakukan kekerasan terhadap siswanya telah cukup sering terdengar. Tapi, masih belum ada upaya memadai untuk menghentikan insiden tersebut.
Di antara langkah-langkah penting untuk mencegah tindakan kekerasan adalah meningkatkan kesejahteraan pendidik. Gaji pendidik yang rendah dan beban kerja yang berlebihan, antara lain, telah dianggap sebagai tantangan utama yang dihadapi sektor pendidikan di Indonesia selama bertahun-tahun.
Pepatah, “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”, tampaknya telah disalahgunakan untuk membenarkan gaji pendidik yang rendah. Ribuan guru kontrak, dan pendidik lainnya di pesantren, misalnya, menerima gaji hanya Rp150.000 (sekitar $9,57 dolar Amerika) per bulan. Dalam beberapa kejadian, para guru bahkan hanya bisa mencairkan gaji mereka setiap tiga hingga enam bulan.
Berbagai penelitian telah menyoroti hal “pekerjaan administratif yang sangat rumit” saat membahas kemajuan karier dan kenaikan gaji. Untuk dapat naik jabatan, seorang guru harus mencatat dan menghitung nilai kreditnya secara manual. Tugas-tugas seperti itu menghambat fokus mereka dalam mengajar dan mengasuh siswa dengan baik.
Beban administrasi yang berlebihan juga membuat guru kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kesadaran mereka melalui, misalnya, seminar atau lokakarya. Mereka tidak terpapar upaya-upaya membangun lingkungan sekolah yang tidak akan memberi toleransi pada kekerasan dan perundungan.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim telah menandatangani peraturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan pada Agustus tahun lalu. Tapi, sosialisasi dan implementasinya masih jauh dari memadai.
Peraturan Menteri No. 46/2023 itu mengamanatkan pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) dalam waktu 12 bulan. Para ahli telah memperhatikan bahwa sekolah-sekolah berlomba-lomba untuk menyelesaikan tugas tersebut tetapi sekadar hanya sebagai formalitas. Kesadaran guru tentang dampak negatif kekerasan di sekolah secara umum masih rendah, dan hal itu dibuktikan dengan adanya insiden yang berulang.
Tewasnya dua siswa bulan lalu seharusnya menjadi peringatan bagi otoritas pendidikan dan pemangku kepentingan untuk meningkatkan upaya mencegah kekerasan terhadap siswa di sekolah. Tidak boleh terjadi lagi kekerasan. Kehilangan satu nyawa siswa sudah terlalu banyak bagi kita. Bagaimana pun, dalam benak kita, anak-anak saat ini adalah para pemimpin di kemudian hari, menuju masa depan yang lebih cerah.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.