Banyak proyek strategis nasional dibangun di tempat yang masuk perhitungan bisnis, dan bukan di lokasi yang menjadi prioritas pembangunan.
Sebelum Presiden Joko “Jokowi” Widodo naik jabatan pada 2014, ada harapan luas bahwa ia akan melakukan segala cara untuk mengurangi kesenjangan ekonomi yang sangat besar, yang terjadi di berbagai daerah di negara ini.
Harapan itu tidak hanya bersumber dari janji-janji yang dibuat Jokowi selama kampanye, tetapi juga muncul setelah mempelajari latar belakang pribadinya. Bahkan, latar belakang itulah yang semakin meyakinkan banyak orang. Bagaimana pun, kata-kata bisa jadi hanya sekadar kata-kata. Dan setiap politisi akan menemukan kata-kata yang tepat saat dibutuhkan.
Jokowi tumbuh dari keluarga yang sederhana. Ia bahkan mengalami kemiskinan di awal hidupnya, dan masih berusia sangat muda ketika ia mulai bekerja di bengkel furnitur milik sang ayah, untuk membantu ekonomi keluarga.
Selain latar belakang keluarg sederhana itu, Jokowi juga bukan anak Jakarta. Ia berasal dari Surakarta di Jawa Tengah. Meskipun Surakarta termasuk kota besar, tapi jauh dari ibu kota yang menjadi rumah bagi sebagian besar elit negara ini.
Pengalaman pribadinya menghadapi kesulitan hidup, lalu menerima pendidikan gratis sebagai jalan keluar, lalu menjadi wali kota, kemudian gubernur di ibu kota negara, dan akhirnya presiden, tidak diragukan lagi memberi kredibilitas pada janjinya. Ia menyebut akan mengatasi defisit pembangunan di daerah-daerah terpencil yang ada di Indonesia.
Karena itu, banyak yang akan kecewa. Pasalnya, setelah dua periode Jokowi menjabat, kesenjangan antara Jakarta dan daerah lain di negara ini, seperti antara Jawa dan pulau lain, masih sangat lebar.
Ketimpangan finansial, seperti yang dijelaskan dalam perbedaan pendapatan per kapita, hanyalah sebagian dari masalah. Orang-orang di ibu kota dan beberapa pusat kota lainnya juga menikmati fasilitas umum yang lebih baik. Sebut saja sekolah dan rumah sakit yang lebih layak. Orang-orang di Jawa umumnya menikmati perumahan dan transportasi yang lebih baik, konektivitas telepon atau internet, dan pasokan listrik yang lebih kuat jika dibandingkan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau lain.
Akibatnya, indeks pembangunan manusia mengistimewakan Jawa, dan Jakarta bahkan lebih baik lagi.
Pemerintah telah dikritik karena menempatkan banyak Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pulau Jawa. Argumentasi yang diajukan pemerintah adalah bahwa PSN seharusnya dapat membantu meratakan devolusi ekonomi.
Namun, penyataan itu hanya benar sebagian saja. PSN justru dibangun di tempat yang masuk akal secara bisnis, bukan di tempat yang menjadi prioritas pembangunan. Tempat Pemrosesan sumber daya nasional, misalnya, diadakan di lokasi yang dekat dengan sumbernya, atau dekat dengan pasarnya.
Argumen lain adalah bahwa fasilitas industri besar yang dibangun di wilayah-wilayah tersebut seperti tidak terkoneksi dengan wilayah sekitarnya. Akibatanya, gagal meningkatkan infrastruktur dan lapangan kerja lokal.
Namun, pembangunan nasional bukan tanggung jawab investor. Daya tarik utama kawasan industri adalah bahwa investor mendapatkan segala yang mereka butuhkan di lokasi tersebut, dan investor tidak perlu repot-repot mengurus wilayah sekitarnya.
Tugas pemerintah adalah memastikan bahwa pendapatan negara yang dihasilkan di kawasan ekonomi khusus tersebut tersebar ke seluruh nusantara. Pemerintah juga harus dapat menjamin bahwahasil pembangunan ekonomi dinikmati di mana-mana.
Jika kita mengharapkan pembangunan industri yang dilakukan pemerintah dalam program hilirisasi secara otomatis mengangkat kondisi wilayah sekitarnya, atau bahkan memperbaiki seluruh negeri, maka harapan kita terlalu muluk-muluk.
Investasi di pabrik peleburan untuk pemrosesan mineral, misalnya, juga di infrastruktur transportasi, adalah bentuk investasi yang padat modal. Karena itu, investasi yang demikian tidak akan menciptakan banyak lapangan kerja domestik.
Seiring dengan semakin merambahnya investasi ke industri hilir, seperti dari pembuatan bahan baku baterai ke pembuatan baterai atau kendaraan listrik dan suku cadang mobil, dampak positifnya akan lebih besar pada daerah sekitar.
Pemerintah harus menciptakan kondisi yang kondusif untuk proses “hilirisasi” ini. Harus dibangun infrastruktur transportasi, energi, dan logistik yang diperlukan. Pemerintah juga harus menyediakan pendidikan berkualitas tinggi untuk memacu pengembangan sumber daya manusia.
Hal-hal itulah yang menjadi dasar untuk menciptakan industri yang kompetitif. Industri yang kompetitif akan jauh lebih efektif untuk pembangunan ekonomi, ketimbang sekadar membatasi perdagangan yang bertujuan untuk mencegah masuknya barang-barang buatan luar negeri. Industri yang kompetitif juga lebih baik dari aturan yang memaksa perusahaan asing untuk berinvestasi di Indonesia sebelum mereka dapat menjual barang-barang mereka di pasar dalam negeri kita.
Tentu saja, pemerintah tahu semua itu. Ini toh bukan ilmu yang terlalu rumit. Namun, bisa saja Jakarta telah menjadi terlalu sibuk dengan politik dalam beberapa bulan dan tahun terakhir. Kesibukan itu membuat Jakarta gagal memperhatikan hal yang seharusnya diurus, terkait isu-isu dasar pembangunan nasional.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.