Jokowi mengklaim, fakta bahwa masyarakat masih bisa mengkritiknya di media sosial adalah bukti kesehatan demokrasi Indonesia.
Medio Juli lalu, ketika ditanya tentang kemunduran demokrasi di Indonesia, Presiden Joko "Jokowi" Widodo menanggapi dengan tenang. Ia katakan bahwa demokrasi masih hidup dan sehat di negara ini, dengan menunjuk pemilihan umum yang teratur sebagai buktinya.
Presiden yang akan lengser itu juga mengutip fakta bahwa orang-orang masih bisa mengkritiknya di media sosial. Menurutnya hal tersebut membuktikan lebih lanjut tentang kesehatan demokrasi Indonesia.
Pernyataan pertama akan menjadi argumen yang meyakinkan jika kesejahteraan demokrasi dinilai hanya berdasarkan adanya lembaga dan prosedur.
Namun, demokrasi tidak bergantung hanya kepada lembaga dan prosedur saja.
Demokrasi hanya dapat berkembang jika terjadi persaingan sehat di antara lembaga. Fungsi pengawasan dan penyeimbang, checks and balances, berlaku dalam sistem politik.
Presiden Jokowi, terutama dalam lima tahun terakhir pemerintahannya, secara sadar telah melakukan upaya, bahkan bisa disebut sebagai sistematis, untuk melemahkan fungsi pengawasan untuk saling mengontrol dan saling menyeimbangkan kekuasaan tersebut.
Salah satu keuntungan terbesar dari reformasi adalah bahwa sistem politik Indonesia diatur sedemikian rupa sehingga cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif pemerintah dapat berjalan secara independen.
Dalam lima tahun terakhir, cabang eksekutif telah mengambil langkah untuk mempersulit pelaksanaan fungsi kontrol dan penyeimbang.
Dengan daya tarik berupa jabatan di pemerintahan, Presiden Jokowi berhasil mengumpulkan lebih dari 80 persen kursi di DPR menjadi satu koalisi. Hal ini secara efektif membunuh setiap kemungkinan perbedaan pendapat dan oposisi terhadap pemerintahannya.
Dan tanpa oposisi di DPR, Presiden Jokowi dapat memaksakan beberapa inisiatif kebijakan yang kontroversial. Contohnya adalah pengesahan Omnibus Law serta undang-undang pembangunan ibu kota baru di Kalimantan, hingga amandemen undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Amandemen UU KPK kemudian menempatkan lembaga antikorupsi di bawah pengawasan langsung presiden.
Sebagai lembaga yang tangguh dan dibanggakan atas independensinya, KPK secara efektif telah menangani kasus-kasus korupsi besar di jantung sistem politik Indonesia. Lembaga tersebut menangkap para politisi, bahkan beberapa politisi paling senior, termasuk seorang ketua DPR yang juga menjabat sebagai pemimpin salah satu partai politik terbesar di negara ini.
Korupsi telah mengorbankan kualitas demokrasi Indonesia dan KPK dapat memberikan kontribusi yang jauh lebih besar bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Syaratnya jika di awal masa jabatan keduanya, Presiden Jokowi tidak merusak independensi lembaga itu.
Korban lain dalam upaya membangun supremasi bagi cabang eksekutif pemerintah adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga ini merupakan salah satu lembaga hasil era reformasi yang paling dihormati, yang bertugas mengendalikan perluasan kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Akhir tahun lalu, intrik politik memaksa MK mengeluarkan putusan yang kemudian digunakan untuk membenarkan proses naiknya putra Presiden Jokowi. Sang putra lalu menduduki jabatan politik tertinggi kedua di negara ini.
Serangan terhadap MK juga telah menimbulkan perdebatan tentang kurangnya etika dalam politik. Pasalnya, politisi hanya berpegang pada proses hukum formal untuk mencari kekuasaan dengan sedikit memperhatikan kesopanan dan batas hak milik.
Dan menjelang berakhirnya masa jabatan kedua Presiden Jokowi, hampir tidak ada organisasi yang luput dari upayanya untuk menerapkan kontrol dan disiplin.
Pada Agustus tahun ini, Airlangga Hartarto dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum Golkar. Ia lalu digantikan oleh tangan kanan Presiden. Hanya beberapa minggu kemudian, Arsyad Rasjid mengalami nasib serupa. Ia dipaksa mundur untuk memberi jalan bagi pemimpin yang didukung oleh Presiden yang akan pensiun.
Dalam beberapa minggu terakhir, tim hubungan masyarakat Presiden Jokowi telah menggembar-gemborkan keberhasilan pemerintahan sang presiden. Mereka menyampaikan hal mulai dari memberantas korupsi ekstrem hingga membangun lebih banyak infrastruktur yang menghubungkan daerah-daerah terpencil di negara ini.
Tidak ada yang akan membantah klaim itu. Namun, tidak boleh juga ada yang melupakan terjadinya perubahan negatif yang signifikan.
Kemunduran demokrasi adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.