Indonesia bisa jadi telah tampil mengecewakan, dengan mengirimkan pejabat biasa ke COP16. Tetapi, akhir bulan ini, melihat saudara Presiden memimpin delegasi ke COP29, bisa jadi pertanda bahwa pemerintah akhirnya mulai serius memposisikan Indonesia dalam isu-isu iklim global.
Tahun ini, khususnya di Oktober dan November, dipandang sebagai titik kritis bagi isu keberlanjutan.
Konferensi keanekaragaman hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP16) di Cali, Kolombia, telah berakhir. Dua minggu setelahnya, konferensi perubahan iklim COP29 dimulai 12.000 kilometer jauhnya dari Cali, tepatnya di ibu kota Azerbaijan, Baku. Kedua pertemuan ini dipandang sebagai yang paling penting untuk menentukan jika masyarakat di bumi dapat menemukan jalan keluar dari dua krisis terbesar yang terjadi sepanjang sejarah manusia.
Kedua konferensi tersebut seharusnya menjadi panggung global bagi kecemerlangan Indonesia. Bagaimana pun, negara ini dipandang oleh banyak orang sebagai salah satu benteng terakhir keanekaragaman hayati dan iklim yang masih tersisa di planet bumi.
Namun, pejabat Indonesia seperti sembunyi saat warga dunia dan negara membutuhkan mereka untuk maju di masa sulit ini.
Tidak ada pejabat tinggi yang terlihat dalam delegasi Indonesia di COP16. Sehingga tidak ada wakil negara untuk bergabung dalam negosiasi tentang keanekaragaman hayati. Yang hadir hanyalah staf menteri berpangkat rendah yang sekadar membacakan pernyataan tentang posisi Jakarta terkait beberapa isu.
Pernyataan yang disampaikan termasuk penolakan Indonesia pada pembentukan badan internasional untuk mengakui upaya konservasi yang dilakukan masyarakat adat dan komunitas lokal. Indonesia juga menolak usulan untuk memberikan dana langsung kepada kelompok masyarakat adat untuk mendukung upaya mereka melindungi alam, dengan mengatakan bahwa uang tersebut seharusnya disalurkan melalui pemerintah pusat untuk dicairkan sesuai "kepentingan nasional".
Ketidakhadiran pejabat setingkat menteri telah membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan manfaat perundingan, apalagi kesempatan untuk memimpin pertemuan. Padahal, diskusi tentang lingkungan dapat membantu negara-negara berkembang, yang acap disebut Global South, untuk mengatasi masalah ganda akibat krisis keanekaragaman hayati dan krisis iklim.
Konferensi keanekaragaman hayati global tersebut dibuka di Kolombia sehari setelah Prabowo Subianto dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober lalu. Pada hari itu, ia mengambil sumpah anggota Kabinet Merah Putihnya. Pelantikan menteri memang bisa jadi alasan sah atas ketidakhadiran para menteri Indonesia di COP16. Meski begitu, alasan itu rasanya tidak cukup kuat bagi pejabat eselon 1 Indonesia yang ikut-ikutan mangkir.
Bisa jadi Presiden menyadari peluang yang terbuang di Kolombia. Karena itu, ia mengirim pasukan besar ke Azerbaijan untuk COP29. Rombongan dipimpin oleh adik laki-lakinya sekaligus pengusaha Hashim Djojohadikusumo, yang secara resmi telah ditunjuk sebagai utusan khusus presiden untuk konferensi iklim yang akan dibuka pada 11 November.
Setelah pertemuan dengan anggota delegasi COP29 Indonesia, Hashim mengatakan kepada wartawan di Jakarta bahwa ia dan para menteri yang bertanggung jawab soal lingkungan hidup dan kehutanan akan fokus pada penyajian capaian Indonesia negara dalam mengurangi emisi karbon. Presentasi itu akan menjadi dasar negosiasi perdagangan karbon dan kesepakatan iklim lainnya. Ia bahkan mengklaim Indonesia bisa mendapatkan harga yang relatif tinggi, yaitu sebesar $10 dolar Amerika per ton CO2.
Pernyataan Hashim mungkin merupakan tanda bahwa pemerintah akhirnya serius menyambut konferensi Baku. Diharapkan, pembicaraan terutama akan fokus pada pembiayaan iklim. Sebagai perbandingan, selama dekade terakhir, Indonesia terbiasa menghindar dari kesempatan memposisikan diri di garda terdepan dalam negosiasi global, terutama jika isu yang dibahas tidak sejalan dengan kepentingan domestik pemerintahan yang berkuasa.
Namun, memberi janji sebelum acara berlangsung saja tentu tidak cukup. Perjuangan sesungguhnya akan terjadi di meja perundingan di Baku. Di sana, Indonesia diharapkan menunjukkan komitmen yang kuat dan serius terhadap mitigasi dan adaptasi iklim.
Pemerintah baru dapat menunjukkan kemauan politiknya dengan mengeluarkan kerangka kebijakan untuk melindungi hutan di seluruh nusantara. Peraturan harus mencakup larangan menebang pohon di hutan bahkan untuk alasan ketahanan pangan atau energi.
Mengirim pejabat tinggi kita untuk menyampaikan argumen yang meyakinkan tentang lingkungan di konferensi iklim dan keanekaragaman hayati global adalah sebuah langkah yang perlu diapresiasi. Hanya dengan begitu Indonesia dapat beroleh kesempatan untuk meraup berbagai manfaat dari kehadiran wakil negara di sebuah konferensi.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.