Banyak pihak menganggap upaya masuk BRICS sebagai bukti kebijakan Prabowo, yang ingin Indonesia dikenal sebagai "tetangga yang baik". Sikap ini sejalan dengan kebijakan luar negeri bebas aktif yang mendorong presiden Sukarno mendirikan Gerakan Non-Blok di puncak Perang Dingin.
Terkait hubungan internasional, kontras dengan pendekatan lepas tangan yang dipegang pendahulunya, Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan pendekatan kebijakan luar negeri yang berani hanya dalam dua minggu masa jabatan. Bukti utama adalah menjajaki kemungkinan bergabung dengan BRICS.
Usai hadir di KTT BRICS di Rusia, Menteri Luar Negeri Sugiono, anak didik Prabowo di Partai Gerindra, menyatakan niat pemerintah agar Indonesia bergabung dengan kelompok negara ekonomi berkembang tersebut.
Banyak pihak menganggap upaya mendapatkan keanggotaan BRICS sebagai bukti kebijakan Prabowo yang ingin Indonesia dikenal sebagai "tetangga yang baik". Sikap itu sejalan dengan kebijakan luar negeri bebas aktif negara ini, yang mendorong presiden pertama Sukarno mendirikan Gerakan Non-Blok, saat Perang Dingin mencapai puncak.
Namun, nampaknya akan lebih bijaksana untuk melakukan manuver diplomatik yang sangat diperhitungkan di masa mendatang, dengan mempertimbangkan potensi konsekuensinya sesuai konteks yang terjadi saat ini.
Mudah dipahami bahwa bergabungnya Indonesia dengan BRICS akan memberi lebih banyak manfaat geopolitik, dan bukan ekonomi. Alasannya bukan hanya karena Indonesia telah menjalin hubungan bilateral yang lebih bermanfaat dengan masing-masing negara anggota BRICS, tetapi juga karena keterlibatan ekonomi kelompok tersebut masih sangat sedikit dan minim tindakan konkret.
Selain mendirikan Bank Pembangunan Baru (atau New Development Bank), kelompok tersebut belum meluncurkan inisiatif ekonomi atau pembangunan apa pun yang menguntungkan anggotanya atau negara-negara berkembang lainnya. Bank Pembangunan Baru merupakan bank pembangunan multilateral yang sebagian besar didukung oleh Tiongkok,
Memang, BRICS punya rencana mendorong de-dolarisasi, guna membantu mengurangi ketergantungan global pada mata uang AS. Tindakan itu terutama didorong oleh sikap agresif Federal Reserve dalam beberapa tahun terakhir. Namun, rencana itu belum terlaksana.
Faktanya, Indonesia telah mengambil tindakan yang lebih progresif, dengan membangun sistem akhir transaksi menggunakan mata uang lokal. Untuk itu Indonesia telah bekerja sama dengan negara-negara di ASEAN dan mitra dagang utama, seperti Tiongkok dan Jepang.
Selain itu, terkait polarisasi dan fragmentasi geopolitik dalam perdagangan internasional yang berakar pada persaingan kekuatan besar selama Perang Dingin, negara-negara yang terlibat telah berevolusi dan sibuk mengejar kepentingan mereka sendiri. Hal tersebut sangat berbeda dengan kepentingan yang membentuk hubungan internasional di era 1960-an.
Saat ini, banyak negara kurang termotivasi oleh perang ideologis antara kapitalisme dan komunisme warisan masa lalu. Demokrasi dan kapitalisme, terlepas dari kekurangannya, telah diadopsi secara luas di seluruh dunia agar sesuai dengan konteks politik dan ekonomi masing-masing negara. Tiongkok, misalnya, menuai pujian karena sistem kapitalisme negaranya.
Selain itu, hampir semua negara telah terlibat dalam perdagangan internasional, terlepas dari kecenderungan politik mereka.
Semakin banyak negara yang melirik India. Negara tersebut telah berhasil melewati ketegangan geopolitik yang terjadi saat ini dan beroleh manfaat dari persaingan negara-negara ekonomi utama. India memperkuat hubungan ekonominya dengan AS sambil terus membeli minyak dari Rusia.
Pada KTT BRICS di Kazan, Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Perdana Menteri India Narendra Modi bertemu dalam pembicaraan bilateral. Ini adalah pertemuan pertama mereka dalam lima tahun, sejak mereka sepakat menyelesaikan kebuntuan militer antara dua negara di perbatasan Himalaya yang disengketakan.
Tidak ada yang istimewa dari keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS. Negara-negara ASEAN lainnya termasuk Malaysia, Vietnam, dan Thailand juga telah menyatakan minatnya untuk bergabung dengan kelompok tersebut dan, seperti Indonesia, telah menjadi negara mitra BRICS.
Di bawah Perdana Menteri Anwar Ibrahim, Malaysia mungkin juga layak mendapat apresiasi. Negara tersebut menjaga hubungan baik dengan Rusia dan Tiongkok, sambil tetap mengamankan investasi signifikan dari perusahaan raksasa teknologi Amerika, semacam Apple dan Microsoft.
Saat ini, bergabung dengan BRICS, Indonesia dapat meraih kembali kesempatan yang tahun lalu dilewatkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang saat itu menjabat. Jokowi yang sangat jarang hadir dalam acara internasional, secara terbuka memutuskan hadir di KTT BRICS di Johannesburg, tetapi kemudian mengumumkan bahwa keanggotaan BRICS “bukan hal mendesak”.
Pemerintahan Jokowi kemudian memulai proses aksesi ke Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD). Langkah itu dipandang sebagai cara memperlihatkan kepatuhan pada prinsip-prinsip ekonomi dan perdagangan Barat, guna memperoleh akses yang lebih luas ke rantai pasokan global.
Yang harus dipertimbangkan oleh Prabowo dan pemerintahannya adalah memilih hubungan yang pada akhirnya dapat memajukan kepentingan Indonesia.
Betul, adalah hal bagus menjadi tetangga yang baik. Tetapi rasanya tidak akan menyenangkan jika para tetangga saja yang terus-menerus memperoleh keuntungan dari hubungan yang berat sebelah.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.