Kasus suap yang melibatkan hakim, yang terungkap baru-baru ini, mungkin hanya puncak gunung es, mengingat mandeknya reformasi internal di lembaga peradilan.
Meskipun reformasi lembaga peradilan banyak digembar-gemborkan setelah Orde Baru jatuh pada 1998, masih ada keraguan mendalam tentang kinerja negara dalam memenuhi mandat konstitusionalnya untuk menegakkan keadilan bagi semua orang.
Orang Indonesia cenderung percaya bahwa sistem peradilan negara ini masih korup seperti sebelumnya, dan bahwa keadilan hanya milik orang-orang yang membayar.
Sayangnya, pesimisme ini diperkuat oleh kejadian yang terungkap baru-baru ini. Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam beberapa minggu terakhir telah menangkap seorang mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, seorang putra mantan anggota DPR, dan pengacara sang putra tersebut. Mereka semua diduga melakukan jual beli kasus.
Pada Juli, ketiga hakim yang ditangkap tersebut menyatakan bahwa Gregorius Ronald Tannur, si putra mantan anggota DPR, tidak bersalah atas pembunuhan pacarnya. Menurut jaksa penuntut umum, putusan tersebut merupakan hasil suap.
Pengacara Ronald, Lisa Rahmat, dituduh tidak hanya menyuap hakim dalam kasus tersebut, yaitu Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo. Lisa juga konon memberikan pelicin sekitar Rp5 miliar ($317.000 dolar Amerika) kepada hakim MA yang menangani gugatan jaksa penuntut umum atas pembebasan Ronald. MA membatalkan vonis bebas Ronald pada 22 Oktober, kemudian menyatakan bahwa terdakwa bersalah dan harus menjalani hukuman lima tahun penjara.
Penggeledahan di rumah mantan pejabat MA bernama Zarof Ricar di Senayan, Jakarta, berhasil menemukan uang tunai hampir Rp1 triliun dan 51 kilogram emas batangan yang disimpan di dalam brankas. Ia adalah mantan Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, serta sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum di MA.
Zarof, yang menjabat dari 2012 hingga 2022, mungkin telah memperoleh banyak keuntungan dari dugaan mengadakan bisnis menjadi perantara, jika penyidik mengonfirmasi aset yang ia miliki tersebut terkait dengan kasus Ronald. Zarof diduga menjadi penghubung antara hakim dengan mereka yang berusaha menghindari hukum
Dan Ronald bisa jadi hanya salah satu dari banyak klien yang dibantu Zarof, sebagaimana Zarof bukanlah satu-satunya tokoh dalam permainan ini.
Pada Desember 2021, MA memutuskan bahwa mantan sekretarisnya, Nurhadi Abdurrachman, bersalah karena menerima suap dan gratifikasi sebagai imbalan untuk mengatur putusan pengadilan hingga menguntungkan terdakwa. Pada Juni, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Jakarta Pusat yang menyatakan bahwa mantan sekretaris MA lainnya, Hasbi Hasan, bersalah atas kejahatan yang sama.
Korupsi tampaknya berakar sangat dalam, di lembaga peradilan. Buktinya, mantan hakim MA Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh juga dihukum karena menerima suap dari beberapa pihak, dalam kasus hukum yang mereka putuskan. Mereka adalah dua hakim aktif pertama yang pernah ditangkap oleh penegak hukum karena penyuapan.
Semua kasus ini mungkin hanya puncak gunung es. Pasalnya, reformasi internal pengadilan mandek. Banyak pihak, termasuk hakim, menganggap reformasi berarti kenaikan gaji, yang menurut mereka akan mencegah hakim menerima suap.
Remunerasi yang lebih baik bukanlah solusi. Setidaknya, remunerasi saja tidak cukup. Ribuan hakim melakukan aksi mogok nasional pada awal Oktober, menuntut gaji yang lebih baik, di antara reformasi lainnya. Lalu, terbongkarlah kasus yang disebut "mafia pengadilan", yang berujung pada penangkapan hakim Pengadilan Negeri Surabaya.
Transparansi adalah tantangan pertama yang harus dihadapi lembaga peradilan jika ingin ada kemajuan. MA telah memperkenalkan layanan elektronik pengajuan kasus ke pengadilan, tetapi itu masih jauh dari cukup.
Pengadilan harus membuat macam-macam informasi internal yang penting juga bisa diakses masyarakat, termasuk pemilihan dan pengangkatan hakim, pengungkapan catatan keuangan, dan statistik pengadilan. Pengadilan negeri juga harus diwajibkan mempublikasikan keputusan mereka, yang akan meningkatkan kepatuhan terhadap putusan dan meningkatkan konsistensi dalam proses pengambilan keputusan pengadilan.
Partisipasi publik juga merupakan kunci untuk membangun institusi peradilan yang kredibel. Pemeriksaan rekam jejak para calon hakim agung akan memastikan bahwa sosok yang duduk di MA adalah tokoh-tokoh berintegritas.
Pergantian anggota Badan Pengawasan MA baru-baru ini adalah kesempatan yang tepat untuk melakukan reformasi yang telah lama dibutuhkan lembaga peradilan Indonesia. Tujuan akhirnya adalah keadilan yang berlaku untuk semua, dan tidak kurang dari itu.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.