Mengingat Prabowo adalah seorang presiden, dukungannya terhadap calon tertentu bertentangan dengan asas imparsialitas.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak minggu depan akan kembali menguji komitmen bangsa terhadap demokrasi. Setelah memilih presiden, wakil presiden, dan wakil rakyat di DPR dan DPRD pada 14 Februari lalu, pemilih di seluruh negeri akan memilih 37 gubernur, 415 bupati, dan 93 wali kota pada Rabu.
Kita semua berharap terciptanya kedamaian dan ketertiban agar para pemilih yang memenuhi syarat dapat menggunakan hak pilihnya dengan bebas. Hal ini dapat terwujud jika penyelenggara pemilu, aparat keamanan, dan birokrasi menjunjung tinggi netralitas.
Pemerintah telah menetapkan hari pemungutan suara minggu depan sebagai hari libur nasional. Ketetapan dibuat demi mendorong masyarakat datang ke tempat pemungutan suara, untuk memilih pemimpin daerah mereka selama lima tahun ke depan. Tingkat partisipasi pemilih yang tinggi tentu akan memberi legitimasi yang kuat bagi kepala daerah yang terpilih.
Setidaknya bagi para elite politik, pilkada akan menjadi pengulangan persaingan sengit yang mewarnai pemilihan presiden. Di beberapa daerah strategis seperti Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara, Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus akan melawan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Bagi Presiden Prabowo Subianto, yang kini memimpin KIM, pilkada akan menjadi hal krusial. Ia perlu mengonsolidasikan kekuasaan di daerah. Cengkeraman yang kuat terhadap tatanan politik lokal tidak hanya akan mempercepat pelaksanaan program-program prioritasnya di lapangan, tetapi juga memperkuat basis pemilihnya. Dan basis pemilih tersebut akan ia butuhkan jika ingin terpilih kembali pada 2029 mendatang.
Bagi PDI-P, dan khususnya sang ketua Megawati Soekarnoputri, pilkada menawarkan kesempatan untuk membalas dendam atas kekalahan partai tersebut dalam pemilihan presiden. Kekalahan tersebut sebagian disebabkan oleh dukungan penuh presiden saat itu, Joko “Jokowi” Widodo, terhadap Prabowo dan pasangannya Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi. Kini, sekali lagi, PDI-P menghadapi tantangan berat untuk mempertahankan basis massa tradisionalnya, misalnya Jawa Tengah dan Bali, dari gempuran KIM.
Sesungguhnya Jokowi memang membuktikan kebesaran nyalinya, meski ia tak lagi berkuasa. Mantan presiden itu memanfaatkan popularitasnya untuk memengaruhi pemilih di Jakarta dan Jawa Tengah, dan masih banyak daerah lain lagi. Pemilu pada Rabu mendatang akan membuktikan jika upayanya membuahkan hasil.
Awal pekan ini, Jokowi mengunjungi Jakarta untuk menunjukkan dukungan pada mantan gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan pasangannya Suswono dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam pemilihan gubernur. Di Jawa Tengah, Jokowi juga berkampanye untuk mantan kepala polisi provinsi Ahmad Luthfi dan pasangannya, Taj Yasin.
Sebuah survei oleh lembaga riset Kompas, Litbang Kompas, memperkirakan bahwa pilkada Jakarta akan membutuhkan dua putaran. Hal itu mengulang pilkada 2017. Survei tersebut menemukan bahwa pasangan PDI-P Pramono Anung dan Rano Karno memimpin dengan 38,3 persen dukungan rakyat. Pasangan Ridwan-Suswono membuntuti dengan 34,6 persen. Pasangan calon independen Dharma Pongrekun dan Kun Wardana Abyoto hanya memperoleh 3,3 persen. Pasangan calon harus memperoleh sedikitnya 50 persen suara untuk mengamankan jabatan gubernur Jakarta. Hal itu berbeda dengan daerah lain. Di daerah lain, calon dengan suara terbanyak dalam satu putaran pemungutan suara akan menjadi pemenang pilkada.
Jokowi kini tidak menghadapi konsekuensi apa pun karena memihak salah satu kandidat dalam pilkada. Sedangkan Prabowo, sebagai Presiden, menghadapi konsekuensi itu. Prabowo secara terbuka mendukung Luthfi dan Yasin, dan telah mendorong masyarakat Jawa Tengah untuk memilih mereka. Prabowo juga baru-baru ini membagikan foto dirinya makan malam bersama Ridwan dan Suswono, di akun Instagram miliknya.
Prabowo mengaku bertindak dalam kapasitasnya sebagai ketua Partai Gerindra. Ia bertujuan agar partainya memenangkan sebanyak mungkin jabatan kepala daerah. Namun, mengingat ia juga presiden, dukungannya terhadap kandidat tertentu bertentangan dengan asas imparsialitas. Hal itu membuat jiwa negarawan yang ia miliki dipertanyakan.
Presiden-presiden sebelumnya, terutama Jokowi, mungkin telah melanggar aturan imparsialitas. Namun, Prabowo tidak boleh menormalisasi praktik tersebut jika ia benar-benar ingin mengubah permainan. Ia harus membuktikan komitmennya terhadap demokrasi, yang melambungkannya ke kursi kepresidenan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.