Indonesia harus menghindari adanya persepsi telah menukar prinsip hukum demi konsesi diplomatik.
Minggu lalu, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. mengumumkan di media sosial bahwa Indonesia telah setuju mengizinkan Mary Jane Veloso, menjalani hukuman di negara asalnya. Mary adalah warga negara Filipina yang dijatuhi hukuman mati karena perdagangan narkoba, dan telah 14 tahun mendekam di penjara Indonesia.
Beberapa hari kemudian, Menteri Hukum Supratman Andi Atgas mengonfirmasi bahwa Presiden Prabowo Subianto pada prinsipnya telah menyetujui pemindahan lima anggota Bali Nine yang tersisa ke negara asal mereka. Bali Nine adalah sekelompok warga negara Australia yang dihukum karena penyelundupan narkoba. Jika mereka dikembalikan ke negara asal, tuntutan hukuman seumur hidup terhadap mereka bisa saja diringankan.
Prancis juga telah meminta keringanan hukuman bagi warga negaranya yang dipenjara di Indonesia atas tuduhan serupa.
Perkembangan terakhir ini menunjukkan adanya perubahan dalam sikap Indonesia terhadap hukuman mati serta sistem pengelolaan narapidana.
Keputusan pemerintahan Prabowo untuk menegakkan moratorium eksekusi dan mengisyaratkan langkah bertahap menuju penghapusan hukuman mati patut dipuji. Namun, pendekatannya menimbulkan kekhawatiran terkait kejelasan dan konsistensi hukum. Tanpa kerangka hukum yang jelas, keputusan ad hoc semacam itu berisiko merusak komitmen Indonesia terhadap supremasi hukum.
Indonesia saat ini tidak punya undang-undang yang mengatur pemindahan narapidana, meskipun telah memiliki perjanjian bantuan hukum timbal balik dan ekstradisi. Meskipun kesenjangan terkait payung hukum ini bisa jadi dapat segera diatasi, masih akan muncul pertanyaan tentang mekanisme pemulangan terpidana mati.
Pemindahan narapidana ke luar wilayah yurisdiksi penjatuhan hukuman menciptakan preseden yang meresahkan. Langkah itu berpotensi mengurangi kekuatan hasil sidang peradilan menjadi sekadar transaksi politik.
Pendekatan ini berisiko menciptakan bahaya moral. Membiarkan kemauan politik, tidak peduli seberapa baik niatnya, untuk menggantikan putusan pengadilan, dapat mengikis kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Paling buruk, keputusan semacam itu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang merusak kredibilitas pemerintah. Lebih jauh, keputusan tersebut dapat memberi sinyal kepada masyarakat internasional bahwa supremasi hukum Indonesia dapat dinegosiasikan.
Lebih baik Prabowo memanfaatkan mekanisme yang sudah ada.
Untungnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru direvisi memungkinkan pendekatan progresif terhadap hukuman mati. Narapidana yang telah divonis hukuman mati dan dikurung selama lebih dari satu dekade dapat menjalani proses peninjauan ulang. Setelah peninjauan, kemungkinan hukuman mereka diringankan.
Kebijakan ini mencerminkan langkah Indonesia yang, meskipun lambat, tetapi pasti menuju penghapusan hukuman mati. Dan hal itu sejalan dengan norma-norma global yang terus berkembang, serta sesuai aspirasi negara untuk memperbaiki catatan hak asasi manusianya.
Secara diplomatis, pemindahan narapidana yang diusulkan dapat sejalan dengan kebijakan luar negeri Prabowo, yaitu “menjadi tetangga yang baik”, secara lebih luas. Tujuannya tentu memperkuat hubungan dengan mitra regional dan global.
Namun, Indonesia harus menghindari adanya persepsi telah menukar prinsip-prinsip hukum demi konsesi diplomatik.
Tindakan Prabowo harus menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia tetap kuat dan tidak tunduk pada tekanan eksternal. Hal itu perlu dilakukan agar ia tidak dikenang sebagai “macan ompong” di Asia.
Untuk saat ini, Presiden memiliki kedudukan internasional yang lebih baik jika dibandingkan dengan pendahulunya, Joko “Jokowi” Widodo. Jokowi menjalankan kebijakan antinarkoba agresif, yang mencoreng reputasi bangsa di luar negeri.
Kontras tersebut menggarisbawahi perlunya konsistensi dalam cara menangani hukuman mati di negara ini.
Prabowo harus memastikan bahwa pendiriannya tidak dilihat sebagai alat politik, tetapi sebagai bagian dari perubahan kebijakan yang berprinsip dan transparan.
Data dari Institute for Criminal Justice Reform menunjukkan bahwa hingga Oktober 2023, terdapat 504 terpidana mati di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 110 di antaranya telah mendekam di penjara selama lebih dari satu dekade.
Angka-angka ini menyoroti adanya kebutuhan mendesak akan strategi komprehensif untuk mengelola para terpidana hukuman mati, dan bukannya memutuskan sesuatu secara sepotong-sepotong akibat didorong kepentingan politik.
Pemerintahan Prabowo punya kesempatan untuk mengukir sejarah, dengan memimpin Indonesia menuju penghapusan hukuman mati.
Namun, hal itu harus dilakukan melalui langkah-langkah yang jelas, konsisten, dan sah. Lebih jauh, langkah itu tidak boleh dilakukan melalui kesepakatan rahasia yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Aturan hukum harus tetap menjadi yang paling penting. Setiap langkah reformasi harus didasarkan pada kepentingan nasional dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, bukan ditentukan oleh pertimbangan perubahan arah angin kondisi geopolitik.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.