Menunda pemilihan ulang hingga Januari akan terlihat seperti strategi politik yang keliru.
Ajang pemilihan gubernur Jakarta selalu menjadi salah satu pemilihan kepala daerah (pilkada) yang paling banyak ditonton di Indonesia. Bagaimanapun, Jakarta, setidaknya untuk saat ini, masih menjadi ibu kota Indonesia yang berfungsi penuh.
Dan sejak Joko “Jokowi” Widodo, yang saat itu merupakan wali kota Surakarta, Jawa Tengah yang kurang dikenal, berhasil mencalonkan diri sebagai gubernur kota tersebut pada 2012, para politisi telah menginvestasikan banyak dana dan upaya untuk memenangkan pilkada Jakarta. Apalagi, posisi gubernur Jakarta menjadi sebuah batu loncatan yang kemudian melambungkan Jokowi ke kursi kepresidenan.
Koalisi Indonesia Maju (KIM), koalisi yang berkuasa pimpinan Presiden Prabowo Subianto, awalnya mengira akan menang mudah di Jakarta. Keyakinan muncul terutama karena pilihan terhadap calon gubernur Ridwan Kamil. Ridwan adalah mantan gubernur Jawa Barat yang populer sekaligus akrab dengan seluk beluk media.
Peluang Ridwan untuk kalah dalam pemilihan tampak kecil, mengingat fakta bahwa koalisi tersebut terdiri dari 10 partai politik besar. Artinya, koalisi punya mesin politik yang besar di Jakarta dan sekitarnya.
Pemerintahan baru Presiden Prabowo juga akan terlihat baik jika memenangkan pemilihan di Jakarta. Kemenangan di Jakarta akan menggenapi serangkaian kemenangan di tempat-tempat seperti Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, serta Jawa Timur.
Di atas kertas, Ridwan dapat dengan mudah mengalahkan Pramono Anung Wibowo. Pramono adalah mantan sekretaris kabinet dalam pemerintahan presiden Joko “Jokowi” Widodo. Tingkat elektabilitas Pramono hanya di angka satu digit ketika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mendaftarkan pencalonannya pada Agustus tahun ini.
Namun, ini adalah salah satu kisah sukses di musim pilkada, terkait perubahan haluan terbesar di kalangan pemilih. Pramono dan pasangannya, mantan aktor Rano Karno, membalikkan keadaan atas Ridwan. Menurut jajak pendapat, dalam minggu-minggu menjelang pemungutan suara 27 November lalu, elektabilitas Pramono berhasil mengungguli Ridwan sang politisi Golkar.
Pada hari-hari terakhir kampanye, Pramono mampu mengonsolidasikan keunggulan dalam jajak pendapat. Ia secara khusus memfokuskan kampanyenya pada kesalahan dan kekeliruan yang dibuat Ridwan dan pasangannya, Suswono.
Hal yang juga membantu adalah bahwa pada minggu terakhir kampanye pilkada, Pramono mendapat dorongan politik dari calon presiden yang kalah, yang juga mantan gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Anies tidak hanya memberi dukungan penuh tetapi juga menginstruksikan agar infrastruktur politiknya yang masih tersisa dari pemilihan presiden 20 Februari lalu digunakan untuk membantu urun suara bagi calon PDI-P tersebut.
Pada malam menjelang pemungutan suara 27 November, Pramono mengharapkan perolehan suara hingga setidaknya 53 persen. Dengan begitu, tidak diperlukan lagi pemilihan putaran kedua. Seperti diketahui, Jakarta adalah satu-satunya provinsi di negara ini yang mengharuskan seorang kandidat untuk memenangkan lebih dari 50 persen suara masyarakat, agar dinilai menang pilkada.
Pramono memang menang. Meskipun hasil penghitungan akhir dari Komisi Pemilihan Umum Jakarta, suara yang diperoleh Pramono hanya sedikit melampaui ambang batas 50 persen. Selisihnya tipis, 2.000 suara lebih sedikit.
Dengan margin yang sangat tipis itu, banyak orang di kubu Ridwan merasa punya peluang untuk mencoba menggugat pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Tujuannya tentu memaksa Pramono melakukan pemungutan suara putaran kedua. Bisa jadi, pemungutan suara diulang pada Januari.
Namun, menunda pemilihan hingga Januari akan terlihat seperti strategi politik yang salah arah.
Rendahnya jumlah pemilih pada pilkada November dapat menjadi indikasi bahwa para pemilih sudah mengalami kelelahan politik. Alhasil, pemungutan suara putaran kedua pada Januari kemungkinan akan diikuti oleh makin sedikit pemilih. Hanya 57,5 persen dari 8,21 juta pemilih terdaftar yang datang ke tempat pemungutan suara pada hari pencoblosan pilkada. Pada Februari lalu, yang ikut berpartisipasi dalam pemilihan presiden dan anggota legislatif sekitar 79 persen dari jumlah pemilih yang memenuhi syarat.
Dan jika solusi untuk mendongkrak partisipasi pemilih adalah dengan melakukan jual beli suara, sudah bisa dipastikan hal itu merupakan kesalahan besar. Jual beli suara sudah kita lihat pada hari-hari menjelang pemilihan November.
Selain itu, koalisi yang berkuasa toh telah menang dalam begitu banyak pemilihan daerah. Dengan membiarkan kandidat oposisi menang di Jakarta, akan ada kesan bahwa praktik demokrasi masih dijalankan. Sekecil apa pun.
Sang pemenang tidak perlu menguasai segalanya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.