Ini adalah kedua kalinya sejak pelantikan Prabowo, Indonesia mengisyaratkan pesan yang mengkhawatirkan pada negara-negara tetangga di kawasan.
Pada Rabu 18 Desember, Kementerian Luar Negeri mengonfirmasi bahwa Menteri Luar Negeri Sugiono tidak akan menghadiri pertemuan informal menteri luar negeri ASEAN di Bangkok pada Jumat. Alasannya, ia akan mendampingi Presiden Prabowo Subianto pada KTT Developing Eight (D8) di Kairo.
Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri, Sidharto Suryodipuro, dijadwalkan menghadiri pertemuan di Bangkok, mewakili sang menteri.
Ini adalah kedua kalinya sejak pelantikan Prabowo, Indonesia mengirimkan pesan yang mengkhawatirkan kepada negara-negara tetangga di kawasan. Yang pertama adalah bulan lalu, saat bersama Prabowo dan Presiden Tiongkok Xi Jinping mengeluarkan pernyataan bersama mengenai proyek kerja sama di wilayah-wilayah maritim yang saat ini masih diwarnai tumpang tindih klaim.
Pemerintahan Prabowo, tentu saja, berhak meletakkan ASEAN bukan sebagai prioritas dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Tetapi, menanggapi skala prioritas yang demikian, negara-negara tetangga ASEAN juga berhak untuk berpaling dari kita.
Ketidakhadiran Sugiono dalam pertemuan regional tersebut dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra. Sang perdana menteri telah menginisiasi dua pertemuan terpisah mengenai Myanmar di Bangkok, pekan ini. Perdana menteri muda tersebut yakin bahwa ia dapat mendorong adanya terobosan berarti dalam krisis Myanmar yang berkepanjangan itu.
Pada Kamis, Thailand akan menjadi tuan rumah pertemuan dengan perwakilan dari Tiongkok, India, Bangladesh, Laos, dan Thailand. Semua negara tersebut berbatasan dengan Myanmar. Junta juga akan mengirimkan delegasi resmi. Pertemuan disebut-sebut sebagai "konsultasi informal mengenai keamanan perbatasan dan kejahatan transnasional".
ASEAN sendiri tidak dapat mengakhiri tragedi kemanusiaan yang berkepanjangan di Myanmar. Junta tidak dapat sepenuhnya mengendalikan negara tersebut, karena para pejuang perlawanan telah lama menguasai beberapa wilayah. Di sisi lain, Tiongkok mungkin tidak terlalu khawatir tentang akhir konflik, karena siapa pun yang menang akan tetap sangat bergantung pada negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut. Namun, kekacauan internal di Myanmar telah menyebar hingga ke luar perbatasannya.
Pada Jumat, Menteri Luar Negeri Thailand Maris Sangiampongsa akan menyelenggarakan pertemuan khusus untuk para menteri luar negeri ASEAN. Indonesia harus mengklarifikasi bahwa kehadiran delegasi resmi dari junta Myanmar tidak dikehendaki.
Mungkin ini tidak realistis, tetapi Indonesia harus berpegang pada prinsip-prinsip dasar yang disepakati oleh para pemimpin ASEAN. Dan hanya para pemimpin yang dapat mengubah posisi mereka.
Keputusan Sugiono untuk tidak menghadiri pertemuan tingkat menteri tersebut memperkuat spekulasi di kalangan komunitas diplomatik di Jakarta, termasuk diplomat senior, bahwa Prabowo, mantan jenderal Angkatan Darat, dapat membuat sikap Indonesia melunak pada pemimpin junta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing. Lebih buruk lagi, desas-desus menyebut bahwa di bawah pemerintahan Prabowo, ASEAN akan dikesampingkan.
Berita bahwa Sugiono akan melewatkan pertemuan di Thailand telah beredar cukup lama, sebelum akhirnya dikonfirmasi pada Rabu kemarin. Namun, masih belum terlambat bagi Prabowo untuk berubah pikiran. Tidak menghadirkan Sugiono dalam pertemuan tersebut akan menyebabkan terlalu banyak kerusakan pada hubungan regional, menyusul kesepakatan Prabowo dengan Xi yang tidak dipertimbangkan dalam-dalam.
Kesepakatan tersebut secara luas dianggap sebagai konsesi yang tidak perlu dan mungkin menjadi kesepakatan yang tidak disengaja dengan Tiongkok. Konvensi Hukum Laut PBB (UN Convention on the Law on the Sea atau UNCLOS) tahun 1982 mengakui zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna. Pada 2016, PBB menolak klaim Tiongkok atas hampir seluruh Laut China Selatan, serta klaim sembilan garis putus-putus yang coba digunakan China untuk membenarkan klaim tersebut.
Namun, Tiongkok tidak mengindahkan penolakan ini sedikit pun. Negara itu terus bertahan pada klaim yang ia buat berdasarkan versi sejarahnya sendiri.
Sementara itu, menanggapi reaksi keras terhadap perjanjin tersebut, pemerintah Indonesia mengatakan bahwa posisinya di Laut Natuna tetap tidak berubah.
Setiap perubahan posisi dalam masalah ini akan merusak reputasi dan kredibilitas Indonesia sebagai pemimpin de facto ASEAN. Banyak negara tetangga dan negara sahabat yang terkejut setelah membaca pernyataan bersama awal bulan lalu.
Kami menyerukan kepada Presiden untuk berubah pikiran, dan meminta menterinya hadir di Bangkok, sebelum terlambat. Kami juga mendesak Presiden untuk tetap berpegang pada keputusan para pemimpin ASEAN yang melarang junta militer menghadiri pertemuan resmi ASEAN. Larangan berlaku hingga Jenderal Hlaing membuktikan bahwa ia telah menepati janji untuk mengembalikan perdamaian dan demokrasi di negara tersebut.
Indonesia akan mengkhianati prinsip-prinsip dasarnya sendiri jika mulai bertoleransi pada kebrutalan junta militer Myanmar.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.