Maskapai penerbangan harus mengadopsi pendekatan proaktif yang berpusat pada transparansi, akuntabilitas, dan perbaikan berkelanjutan.
Tidak diragukan lagi bahwa tahun 2024 adalah salah satu tahun yang paling mengerikan bagi industri penerbangan. Serangkaian insiden tragis di minggu terakhir tahun tersebut telah meninggalkan luka mendalam pada industri penerbangan global. Tak pelak, hal itu mengguncang kepercayaan publik terhadap perjalanan udara.
Saat kita menyambut tahun baru, sangat penting untuk mengkaji ulang kesalahan yang menjadikan 2024 sebagai tahun penuh tantangan bagi industri penerbangan. Kita harus berupaya menuju masa depan yang minim tragedi aviasi.
Pada pekan terakhir bulan Desember saja, terjadi empat kecelakaan penerbangan. Dan keempatnya terjadi di saat angka perjalanan sedang sangat tinggi, yang menunjukkan adanya kerentanan sistemik dalam sistem penerbangan.
Di antara semua itu, kecelakaan Jeju Air di Korea Selatan pada 29 Desember adalah yang paling dahsyat. Sebuah Boeing 737-800, model pesawat dengan sejarah pengawasan yang termasuk sangat baru, mencoba melakukan pendaratan darurat di bandara Muan. Sayangnya, pesawat menabrak penghalang beton. Hanya dua orang dari seluruh isi pesawat yang selamat dari kecelakaan itu.
Peristiwa dahsyat ini menjadi bencana penerbangan terburuk di Korea Selatan. Lebih jauh, telah memicu kembali perdebatan tentang infrastruktur bandara dan keandalan pesawat Boeing.
Demikian pula, insiden yang melibatkan KLM di Norwegia dan Air Canada di Halifax pada 28 Desember. Kedua kecelakaan terkait kerusakan teknis. Insiden semakin menyoroti kebutuhan mendesak akan kemajuan di bidang teknologi penerbangan serta protokol perawatan.
Di sisi lain, kecelakaan Azerbaijan Airlines tepat di Hari Natal dikaitkan dengan konflik geopolitik. Terbang 400 kilometer dari jalurnya, pesawat itu dilaporkan ditabrak oleh sistem pertahanan Rusia di tengah perang Ukraina-Rusia yang sedang berlangsung. Kecelakaan menewaskan 38 dari 67 orang di dalam pesawat.
Kejadian Azerbaijan Airlines menjadi yang kedua dalam penerbangan komersial yang terdampak konflik. Yang pertama jatuhnya Malaysia Airlines Penerbangan MH17 pada 2014. Insiden semacam itu menggarisbawahi perlunya upaya global untuk menjaga wilayah udara sipil, khususnya di masa perang.
Menurut laporan, pada 2024 terjadi setidaknya 19 kecelakaan penerbangan komersial di seluruh dunia. Yang termasuk kecelakaan adalah insiden turbulensi parah yang menimpa penerbangan Singapore Airlines pada Mei. Kejadian itu menyebabkan kematian seorang penumpang, yang merupakan kematian pertama akibat turbulensi sejak 1997.
Meski tercatat terjadi kejadian-kejadian yang mencemaskan seperti kecelakaan-kecelakaan tersebut, perlu ditekankan bahwa kondisi penerbangan tetap aman secara statistik. Sebuah studi Universitas Harvard tahun 2017 telah menghitung bahwa kemungkinan kematian dalam kecelakaan pesawat adalah satu dari 11 juta. Tak perlu dikatakan, dampak emosional dari setiap insiden selalu makin besar akibat kepercayaan turun-temurun yang sudah dimiliki penumpang terhadap industri penerbangan.
Sektor penerbangan Indonesia tidak kebal terhadap tantangan ini. Menurut laporan domestik, dalam lima tahun terakhir, negara ini mencatat telah terjadi setidaknya 16 kecelakaan penerbangan, termasuk penerbangan nonkomersial.
Di awal 2024, terungkap ada dua pilot Batik Air yang tertidur di tengah penerbangan karena kelelahan. Temuan itu sangat mengejutkan publik, mengungkap kelemahan mencolok dalam komponen manusia yang ada dalam industri penerbangan.
Kecelakaan penerbangan Lion Air 610 tahun 2018, salah satu bencana penerbangan paling mematikan di Indonesia, juga masih jadi perhatian utama.
Salah satu narasi seputar perjalanan dunia penerbangan dalam beberapa tahun terakhir adalah caranya mengatasi kesulitan pascapandemi. Lonjakan permintaan telah mengungkap adanya celah dalam hal kepegawaian, sistem kendali lalu lintas udara, dan perawatan pesawat. Hal-hal itu diperparah oleh faktor-faktor terkait iklim dan cuaca.
Tantangan-tantangan ini, dikombinasikan dengan kelemahan teknologi dan ketegangan geopolitik, telah membuat penerbangan jarak pendek menjadi perjalanan yang menegangkan.
Namun, masih ada harapan. Industri penerbangan harus memprioritaskan keselamatan penumpang dan bukan hanya memperhatikan keuntungan. Keselamatan artinya melibatkan pengawasan ketat terhadap produsen pesawat seperti Boeing, perusahaan yang menjadi gantungan hidup dalam penerbangan.
Maskapai penerbangan harus mengadopsi pendekatan proaktif yang berpusat pada transparansi, akuntabilitas, dan peningkatan mutu secara berkelanjutan. Badan-badan regulasi juga harus menegakkan langkah-langkah keselamatan yang ketat, demi memastikan tidak ada pelanggaran yang lolos dari pemeriksaan.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia tidak punya alternatif yang layak untuk perjalanan udara selain menggunakan pesawat. Pemerintah harus berinvestasi dalam keselamatan penerbangan sambil menumbuhkan kepercayaan publik.
Penumpang, pada gilirannya, harus tetap waspada. Jangan segan-segan menagih pertanggungjawaban maskapai penerbangan dan regulator.
Mari kita gunakan momen refleksi ini untuk menghormati mereka yang telah wafat dalam penerbangan. Kita harus belajar dari masa lalu. Keselamatan penerbangan bukan sekadar angka statistik. Keselamatan penerbangan merupakan jalan hidup dan kepercayaan jutaan orang yang terbang setiap hari.
Semoga 2025 menjadi tahun komitmen baru untuk membuat perjalanan udara lebih aman bagi semua orang.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.