TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Tangan si pengokang 

Salah satu pemicu utama meningkatnya kekerasan bersenjata di Indonesia adalah budaya impunitas dalam angkatan bersenjata dan kepolisiannya.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Tue, January 14, 2025 Published on 2025-01-13T19:54:53+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Tangan si pengokang Civil society activists and university students hold banners that read “Police reform“ (left) and “People's killer” during a protest in front of the Central Java Police in Semarang on Nov. 28, 2024. (Antara/Aji Styawan)
Read in English

 

Untuk negara yang punya banyak aturan agar senjata tak sembarangan dibawa orang sipil, masalah kekerasan bersenjata di Indonesia termasuk cukup serius. 

Insiden terkini, misalnya yang terjadi awal bulan ini, penembakan yang menewaskan seorang warga sipil di jalan tol Tangerang-Merak, semakin menegaskan pentingnya mengevaluasi kembali aturan terkait pembatasan penggunaan senjata.

Tragedi terbaru tersebut, yang melibatkan seorang perwira Angkatan Laut yang diduga menyalahgunakan senjata apinya, merenggut nyawa pemilik bisnis persewaan mobil berusia 48 tahun, Ilyas Abdurrahman.

Sungguh bukan hal yang dapat diterima juga bahwa perwira angkatan laut yang berwenang, seolah membenarkan kekerasan tersebut dengan menganggapnya sebagai respons membela diri. Konsep "membunuh atau dibunuh" hanya berlaku di masa perang, dan senjata jelas bukan alat untuk melawan dugaan penipuan.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Memang nampaknya perwira yang jadi tersangka berupaya menghindar dari pengadilan sipil yang adil. Pasalnya, sang atasan mengklaim bahwa ia berada di bawah yurisdiksi pengadilan militer.

Kasus lain, pada November 2024, melibatkan kematian Beni, 45 tahun. Beni adalah seorang warga desa di provinsi Bangka Belitung yang ditembak mati oleh anggota Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Nasional karena diduga mencuri buah kelapa sawit dari perkebunan milik swasta.

Kedua kasus tersebut merupakan bentuk adanya krisis yang lebih luas. Krisis tersebut merusak kepercayaan pada lembaga negara dan mengancam keselamatan publik. Kita harus melihat sosok si pengokang senjata. 

Salah satu pemicu utama terjadinya gelombang kekerasan bersenjata baru-baru ini adalah budaya impunitas di kalangan militer dan polisi Indonesia. Selama bertahun-tahun, banyak kasus yang menyoroti terulangnya kegagalan untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku. Sebut saja kasus mutilasi Mimika di Papua, skandal pembunuhan berencana yang melibatkan polisi senior Ferdy Sambo di Jakarta, dan insiden-insiden besar lainnya, 

Ketika aparat keamanan bertindak tanpa takut akan konsekuensinya, hal itu tidak hanya melanggengkan kekerasan tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang seharusnya melindungi mereka. Transparansi dalam investigasi dan penegakan tindakan disiplin yang ketat tidak dapat dinegosiasikan, jika Indonesia ingin memulihkan kepercayaan masyarakat pada aparat keamanannya.

Mereformasi protokol senjata api dan meningkatkan mekanisme pengawasan merupakan langkah penting untuk mengendalikan tingkat kekerasan bersenjata. Saat ini, proses yang mengatur penerbitan dan penggunaan senjata api selalu punya banyak celah, yang memungkinkan penyalahgunaan dan penggunaan yang berlebihan. 

Tidak adanya tindakan pengawasan yang nyata dalam peraturan Kepolisian Nasional tahun 2022 tentang izin senjata api, yang juga mengatur penggunaan senjata nonstandar oleh personel polisi dan militer, harus segera diperbaiki.

Pasukan keamanan juga harus menjalani pelatihan ketat tentang penggunaan senjata api dan taktik meredakan konflik. Kemudian, harus ada evaluasi rutin untuk memastikan kepatuhan. Sebagai tindakan pencegahan, pemerintah harus memastikan akuntabilitas, selain pengawasan internal.

Dampak kekerasan bersenjata sangat luas, bukan sekadar jatuh korban langsung. Atmosfer ketakutan dan rasa tidak aman dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, menghalangi investasi, dan merusak reputasi Indonesia sebagai negara demokrasi yang stabil. Contoh yang jelas adalah wilayah seperti Papua, yang selama puluhan tahun dilanda kekerasan yang melibatkan pasukan keamanan. Wilayah tersebut menghadapi kemunduran pembangunan.

Menurut data dari World Population Review, pada 2019, Indonesia berada di peringkat keempat di Asia Tenggara untuk kematian terkait senjata api, dengan 439 insiden dibandingkan dengan 9.268 kematian di Filipina. Sangat mengherankan bahwa data itu seolah tidak bermakna apa-apa. 

Memang harus diakui bahwa model tata kelola militer Asia Tenggara dan kontrol senjata api yang lemah telah memperburuk angka kekerasan di seluruh wilayah. Thailand dan Myanmar juga menyodorkan kisah mereka sendiri. 

Indonesia, sebagai pemimpin regional, punya kesempatan untuk memberi contoh, dengan memprioritaskan hak asasi manusia. Indonesia dapat menunjukkan bahwa akuntabilitas dan keadilan tidak dapat dinegosiasikan dalam tata kelola yang demokratis.

Menangani kekerasan bersenjata perlu pendekatan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Untuk mengatasi akar permasalahannya, Indonesia harus memperkuat mekanisme disiplin di internal pasukan keamanan, meningkatkan pengawasan sipil melalui badan independen dan gerakan pelaporan pelanggaran, memberlakukan undang-undang pengendalian senjata api yang lebih ketat, dan memberikan pelatihan kepada personel keamanan dalam penyelesaian konflik dan pelibatan masyarakat.

Pada akhirnya, mengurangi kekerasan bersenjata bukan sekadar tantangan kebijakan, tetapi kewajiban moral. Setiap nyawa yang hilang akibat penyalahgunaan senjata api adalah pengingat nyata tentang kegagalan negara dalam memenuhi tugas utamanya sebagai pelindung warga negaranya.

Sekaranglah saatnya kepemimpinan yang berani dan tindakan kolektif bergerak, sebelum lebih banyak nyawa hilang sia-sia, serta kepercayaan publik semakin tipis terkikis.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.