Salah satu pemicu utama meningkatnya kekerasan bersenjata di Indonesia adalah budaya impunitas dalam angkatan bersenjata dan kepolisiannya.
Untuk negara yang punya banyak aturan agar senjata tak sembarangan dibawa orang sipil, masalah kekerasan bersenjata di Indonesia termasuk cukup serius.
Insiden terkini, misalnya yang terjadi awal bulan ini, penembakan yang menewaskan seorang warga sipil di jalan tol Tangerang-Merak, semakin menegaskan pentingnya mengevaluasi kembali aturan terkait pembatasan penggunaan senjata.
Tragedi terbaru tersebut, yang melibatkan seorang perwira Angkatan Laut yang diduga menyalahgunakan senjata apinya, merenggut nyawa pemilik bisnis persewaan mobil berusia 48 tahun, Ilyas Abdurrahman.
Sungguh bukan hal yang dapat diterima juga bahwa perwira angkatan laut yang berwenang, seolah membenarkan kekerasan tersebut dengan menganggapnya sebagai respons membela diri. Konsep "membunuh atau dibunuh" hanya berlaku di masa perang, dan senjata jelas bukan alat untuk melawan dugaan penipuan.
Memang nampaknya perwira yang jadi tersangka berupaya menghindar dari pengadilan sipil yang adil. Pasalnya, sang atasan mengklaim bahwa ia berada di bawah yurisdiksi pengadilan militer.
Kasus lain, pada November 2024, melibatkan kematian Beni, 45 tahun. Beni adalah seorang warga desa di provinsi Bangka Belitung yang ditembak mati oleh anggota Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Nasional karena diduga mencuri buah kelapa sawit dari perkebunan milik swasta.
Kedua kasus tersebut merupakan bentuk adanya krisis yang lebih luas. Krisis tersebut merusak kepercayaan pada lembaga negara dan mengancam keselamatan publik. Kita harus melihat sosok si pengokang senjata.
Salah satu pemicu utama terjadinya gelombang kekerasan bersenjata baru-baru ini adalah budaya impunitas di kalangan militer dan polisi Indonesia. Selama bertahun-tahun, banyak kasus yang menyoroti terulangnya kegagalan untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku. Sebut saja kasus mutilasi Mimika di Papua, skandal pembunuhan berencana yang melibatkan polisi senior Ferdy Sambo di Jakarta, dan insiden-insiden besar lainnya,
Ketika aparat keamanan bertindak tanpa takut akan konsekuensinya, hal itu tidak hanya melanggengkan kekerasan tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang seharusnya melindungi mereka. Transparansi dalam investigasi dan penegakan tindakan disiplin yang ketat tidak dapat dinegosiasikan, jika Indonesia ingin memulihkan kepercayaan masyarakat pada aparat keamanannya.
Mereformasi protokol senjata api dan meningkatkan mekanisme pengawasan merupakan langkah penting untuk mengendalikan tingkat kekerasan bersenjata. Saat ini, proses yang mengatur penerbitan dan penggunaan senjata api selalu punya banyak celah, yang memungkinkan penyalahgunaan dan penggunaan yang berlebihan.
Tidak adanya tindakan pengawasan yang nyata dalam peraturan Kepolisian Nasional tahun 2022 tentang izin senjata api, yang juga mengatur penggunaan senjata nonstandar oleh personel polisi dan militer, harus segera diperbaiki.
Pasukan keamanan juga harus menjalani pelatihan ketat tentang penggunaan senjata api dan taktik meredakan konflik. Kemudian, harus ada evaluasi rutin untuk memastikan kepatuhan. Sebagai tindakan pencegahan, pemerintah harus memastikan akuntabilitas, selain pengawasan internal.
Dampak kekerasan bersenjata sangat luas, bukan sekadar jatuh korban langsung. Atmosfer ketakutan dan rasa tidak aman dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, menghalangi investasi, dan merusak reputasi Indonesia sebagai negara demokrasi yang stabil. Contoh yang jelas adalah wilayah seperti Papua, yang selama puluhan tahun dilanda kekerasan yang melibatkan pasukan keamanan. Wilayah tersebut menghadapi kemunduran pembangunan.
Menurut data dari World Population Review, pada 2019, Indonesia berada di peringkat keempat di Asia Tenggara untuk kematian terkait senjata api, dengan 439 insiden dibandingkan dengan 9.268 kematian di Filipina. Sangat mengherankan bahwa data itu seolah tidak bermakna apa-apa.
Memang harus diakui bahwa model tata kelola militer Asia Tenggara dan kontrol senjata api yang lemah telah memperburuk angka kekerasan di seluruh wilayah. Thailand dan Myanmar juga menyodorkan kisah mereka sendiri.
Indonesia, sebagai pemimpin regional, punya kesempatan untuk memberi contoh, dengan memprioritaskan hak asasi manusia. Indonesia dapat menunjukkan bahwa akuntabilitas dan keadilan tidak dapat dinegosiasikan dalam tata kelola yang demokratis.
Menangani kekerasan bersenjata perlu pendekatan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Untuk mengatasi akar permasalahannya, Indonesia harus memperkuat mekanisme disiplin di internal pasukan keamanan, meningkatkan pengawasan sipil melalui badan independen dan gerakan pelaporan pelanggaran, memberlakukan undang-undang pengendalian senjata api yang lebih ketat, dan memberikan pelatihan kepada personel keamanan dalam penyelesaian konflik dan pelibatan masyarakat.
Pada akhirnya, mengurangi kekerasan bersenjata bukan sekadar tantangan kebijakan, tetapi kewajiban moral. Setiap nyawa yang hilang akibat penyalahgunaan senjata api adalah pengingat nyata tentang kegagalan negara dalam memenuhi tugas utamanya sebagai pelindung warga negaranya.
Sekaranglah saatnya kepemimpinan yang berani dan tindakan kolektif bergerak, sebelum lebih banyak nyawa hilang sia-sia, serta kepercayaan publik semakin tipis terkikis.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.