Kita punya alasan mencemaskan makin luasnya peran militer di luar wewenangnya sebagai pembela negara dari ancaman eksternal.
Presiden Prabowo Subianto sekali lagi menunjukkan kegemarannya menempatkan tokoh militer dalam jabatan strategis di pemerintahan. Baru-baru ini, ia menunjuk Mayjen Novi Helmy Prasetya sebagai direktur utama baru Perum Badan Urusan Logistik (Bulog).
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir tidak memberikan alasan kuat terkait pemilihan perwira militer aktif untuk jabatan sipil tersebut. Ia hanya mengatakan secara samar bahwa penunjukan dilakukan untuk "revitalisasi manajemen Bulog" dan "perubahan perspektif" lembaga tersebut.
Namun yang lebih memicu kebingungan, pada Senin 10 Februari,Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengumumkan bahwa Novi pada 31 Januari telah dipromosikan ke jabatan bintang tiga. Ia adalah komandan jenderal Akademi TNI, sesuai dekrit yang ditandatangani lebih dari seminggu sebelum ia diangkat menjadi kepala Bulog.
Pada Selasa 11 Februari, juru bicara TNI Mayjen Hariyanto mengatakan bahwa pengangkatan Novi sebagai kepala Bulog merupakan bagian dari "kesepakatan untuk kemitraan strategis dalam ketahanan pangan antara lembaga dan militer". Ia juga menyebutkan bahwa "Kementerian BUMN melihat Novi memiliki rantai komando yang dapat mendukung penyampaian program ketahanan pangan".
Apa pun alasan di balik penugasan Novi sebagai kepala Bulog, pengangkatan tersebut cacat hukum. Pengangkatan Novi juga mengirimkan pesan lain tentang kembalinya dwifungsi TNI, seperti pada masa Orde Baru, dengan mengorbankan supremasi sipil. Rezim Orde Baru ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia yang meluas serta penindasan kebebasan politik.
Undang-Undang TNI tahun 2004 yang masih berlaku menyatakan bahwa perwira militer hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mereka diberhentikan dari tugas. Berdasarkan undang-undang ini, mereka yang masih aktif di militer dapat diperbantukan pada posisi tertentu di tujuh lembaga negara yang mengawasi pertahanan, keamanan atau intelijen. Mereka juga dapat diperbantukan ke Basarnas (Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan), Badan Narkotika Nasional (BNN) atau Mahkamah Agung yang mengelola pengadilan militer.
Kita ingat, selama pandemi COVID-19, pemerintah menggunakan pengerahan militer untuk membantu upaya pelacakan warga yang melakukan kontak dengan pasien, juga untuk mengawasi penegakan protokol kesehatan. Militer juga dimanfaatkan untuk menjalankan rumah sakit darurat yang merawat pasien COVID. Namun, hal itu sejalan dengan undang-undang, yang menguraikan 14 jenis kegiatan selain perang yang membenarkan keterlibatan TNI, seperti bencana dan misi kemanusiaan.
Prabowo, yang juga mantan jenderal Angkatan Darat, mungkin menginginkan Bulog mengadopsi disiplin militer. Bisa jadi ia ingin Bulog fokus seperti militer, serta punya rantai komando yang jelas dalam memainkan peran utama di bidang ketahanan pangan. Novi bukanlah orang pertama dari angkatan bersenjata yang memimpin Bulog, karena jenderal polisi Budi Waseso pernah memimpin lembaga tersebut pada 2018-2023.
Memang, masa jabatan presiden Prabowo menampilkan semakin banyak kehadiran militer di pemerintahan. Banyak dari orang pilihannya untuk jabatan menteri, wakil menteri, dan kepala lembaga negara adalah mereka yang berlatar belakang militer.
Di awal masa jabatannya, ia bahkan membawa anggota kabinetnya yang besar ke kamp pelatihan seperti militer. Hal itu merupakan caranya untuk menanamkan sikap disiplin. Akhir bulan ini, retret bergaya militer serupa akan diselenggarakan untuk gubernur, wali kota, bupati, dan para wakil yang baru.
Ironisnya, masyarakat menaruh kepercayaan pada TNI. Hal itu terlihat dalam berbagai jajak pendapat yang secara konsisten menempatkan militer sebagai lembaga nasional yang paling dipercaya. Dari menjalankan sebagian besar program makan bergizi gratis untuk anak sekolah, program andalan Prabowo, hingga memerintahkan TNI untuk membentuk 100 batalyon khusus yang akan ditugaskan di sektor pertanian, perikanan, dan peternakan, pemerintahan di bawah komando militer Prabowo merupakan perwujudan kembalinya militer ke dalam urusan sipil.
Prabowo mungkin melihat pemerintahan bergaya militer lebih membantu untuk menembus birokrasi yang kaku, sehingga dapat menyelesaikan berbagai hal. Tetapi kita punya alasan untuk mencemaskan makin luasnya peran militer di luar wewenangnya sebagai pembela negara dari ancaman eksternal.
Sulit untuk meminta pertanggungjawaban militer mengingat kurangnya transparansi dan budaya impunitasnya, terutama dalam hal kekerasan yang dilakukan oleh tentara terhadap warga sipil. Kita tidak dapat mengabaikan kekhawatiran, bahwa meningkatnya keterlibatan TNI dalam urusan sipil dapat membuka jalan bagi potensi kembalinya pemerintahan yang otoriter.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.