Protes mahasiswa pekan ini, menjadi yang tercepat yang pernah dihadapi presiden mana pun, sejak era reformasi, dihitung dari waktu awal menjabat. Bisa dibilang, demonstrasi kemarin adalah tanda nyata dari semangat baru ini.
Kita menyaksikan lagi kebangkitan aktivisme kaum muda. Apa yang disebut "generasi emas" menemukan suaranya lagi. Mereka berteriak di kotak pemungutan suara, di ranah digital, dan, yang terbaru, di jalanan. Pesan mereka jelas: mereka menolak status quo. Mereka menentang keadaan saat ini.
Pada 2022, harian ini sempat menulis bahwa gerakan mahasiswa berada di masa-masa terakhirnya, melihat betapa sulit anak-anak muda itu mempertahankan peran sebagai agen perubahan. Namun, kami tetap punya harapan bahwa idealisme kaum muda, meski dibungkam dengan pembuatan kebijakan yang tidak meyakinkan, juga ketidakpastian ekonomi, pada akhirnya akan menyalakan kembali semangat aktivis mereka. Sungguh senang melihat harapan itu sekarang jadi nyata.
Protes mahasiswa pekan ini, yang tercepat yang pernah dihadapi presiden mana pun sejak era reformasi, dihitung dari awal masa jabatan, adalah tanda nyata dari semangat baru ini. Ribuan mahasiswa di berbagai kota besar turun ke jalan. Mereka berunjuk rasa menentang pemotongan anggaran negara yang berdampak secara tidak proporsional pada sektor pendidikan. Langkah-langkah penghematan, yang diperkenalkan melalui keputusan presiden baru-baru ini, telah memicu kekhawatiran terkait prioritas yang salah, pemotongan gaji, dan ketidakpastian masa depan bagi pekerja kontrak. Visi pemerintah 2045 berbicara tentang "generasi emas", tetapi kebijakannya justru menunjukkan arah yang berbeda.
Selain demonstrasi di jalan, ketidakpuasan kaum muda juga meningkat secara daring. Tagar viral #KaburAjaDulu telah menjadi seruan bagi kaum muda Indonesia yang melihat masa depan lebih cerah di luar negeri. Mirip dengan gerakan "japa" di Afrika, tren ini mencerminkan rasa frustrasi terhadap stagnasi ekonomi, inefisiensi birokrasi, dan kurangnya peluang di dalam negeri. Jika sosok-sosok cerdas yang paling menjanjikan di negara ini memutuskan akan mencari peruntungan mereka di tempat lain, Indonesia berpotensi menghadapi brain drain, yang dapat melumpuhkan ambisi meraih tujuan pembangunan. Brain drain merupakan fenomena ketika tenaga berpendidikan meninggalkan negara asal, juga biasa disebut sebagai pelarian modal manusia.
Kekecewaan yang terus membesar seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Justru, pemerintah tampak kalang kabut. Baru empat bulan menjabat, Prabowo dipaksa melakukan perombakan kabinet pertamanya. Hal itu jelas menandakan adanya kesalahan kebijakan dan akibatnya makin menambah ketidakpuasan publik. Pemerintahannya tidak boleh terbuai rasa puas diri oleh peringkat persetujuan yang naik. Dan kenyataan di lapangan ternyata jauh dari harapan.
Salah satu hal yang membuat frustrasi adalah kegagalan pemerintah menggaet investasi asing. Keraguan untuk berinvestasi di Indonesia, yang ditunjukkan oleh raksasa teknologi global seperti Apple, merupakan aib nasional. Tanpa sumber daya manusia yang kompeten dan ekosistem yang kuat, negara ini akan kesulitan bersaing di panggung dunia. Sektor pendidikan, yang sudah tertekan, tidak mampu menanggung dampak pemotongan anggaran yang dilakukan secara sembrono. Langkah itu akan semakin menggerus kapasitas bidang pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang terampil.
Prabowo dan birokrasinya yang besar harus melangkah sangat hati-hati dalam beberapa bulan ke depan. Protes mahasiswa, yang dulu dianggap sebagai ledakan sesekali, dapat membesar menjadi perlawanan yang berkelanjutan jika kebijakan pemerintah tetap tidak selaras dengan realitas di lapangan dan aspirasi masyarakat. Jika ketidakpuasan ini menyebar ke daerah pemilihan sekutu koalisinya, hal itu dapat melemahkan posisi politiknya jauh sebelum siklus pemilihan 2029.
Yang menggembirakan, perombakan kabinet menandakan pengakuan atas kesalahan dalam memperhitungkan sebuah kebijakan. Penunjukan menteri baru untuk mengatasi dampak dari kesalahan kebijakan dan pemotongan anggaran menunjukkan bahwa pemerintah setidaknya mendengarkan suara masyarakat. Namun, perbaikan yang dilakukan harus lebih dari sekadar menambal dampak kerusakan. Justru, perbaikan itu harus melibatkan komitmen jangka panjang di bidang pemberdayaan kaum muda dan reformasi pendidikan.
Bagi aktivis mahasiswa, tantangannya sekarang adalah mempertahankan integritas dan fokus mereka. Revisi UU Pertambangan baru-baru ini, meskipun kata-katanya diperlunak, masih memberi ruang bagi universitas untuk terlibat dalam usaha komersial. Hal ini menimbulkan ancaman langsung terhadap independensi akademisi. Mahasiswa harus memastikan bahwa institusi mereka tidak jatuh ke dalam perangkap kepentingan finansial dengan mengorbankan kekuatan advokasi mereka.
Bangkitnya kembali aktivisme pemuda merupakan tanda yang menjanjikan bahwa demokrasi Indonesia masih hidup. Namun, aktivisme saja tidak cukup. Pemerintah harus mendengarkan, bertindak, dan berkomitmen pada kebijakan yang menjamin masa depan kaum mudanya. Tanpa itu, jika pemerintah memilih untuk terus-menerus abai, kaum muda Indonesia akan semakin menjauh, baik dari kotak suara maupun dari Indonesia. Atau mereka akan turun ke jalan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.