HKI mengatakan, uang-uang yang dikutip dari investor di bawah meja telah merugikan Indonesia sebanyak ratusan triliun rupiah karena proyek dibatalkan dan perusahaan investor mundur.
Laporan pemerasan pada perusahaan, praktik yang merajalela di Indonesia, tidak akan mengejutkan siapa pun. Namun, sekarang adalah saat yang tepat untuk membicarakan masalah ini karena pemerintah berjanji untuk mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) melalui peningkatan investasi.
Sebuah studi dari Transparency International Indonesia menemukan bahwa pungutan liar (pungli) dapat menghabiskan hingga 30 persen dari total biaya produksi di perusahaan. Memang angka itu merupakan kasus ekstrem. Tapi bahkan perbedaan biaya 5 persen saja, sudah dapat menentukan sukses atau gagalnya suatu keputusan investasi.
Selain itu, masalah ini jauh melampaui kerusakan numerik, karena sudah menodai citra Indonesia secara keseluruhan sebagai lokasi untuk berbisnis.
Sebagai perbandingan, tambahan biaya produksi sebesar 2 atau 3 persen karena kenaikan upah atau harga bahan jauh lebih tidak bermasalah, daripada tambahan biaya gara-gara pungli tak terduga, serta sogokan yang dibayarkan kepada sekelompok pelaku ilegal yang tidak jelas. Kenaikan biaya produksi karena upah atau bahan baku dapat dihitung oleh investor dan dicatat sebagai pengeluaran resmi yang tidak menguntungkan. Tetapi pungli adalah satu hal yang membuat para eksekutif perusahaan menjadi tidak bisa tidur nyenyak.
Menurut Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI), kawasan industri seperti di Karawang, Jawa Barat, dan di Batam, Kepulauan Riau, adalah tempat utama sasaran pemerasan. Hal itu sangat meresahkan karena zona-zona tersebut menjanjikan kejelasan hukum dan kepastian biaya sebagai nilai jual utama bagi perusahaan untuk mendirikan usaha di sana.
Bukan berarti hal itu membuat praktik korupsi menjadi lebih ringan bobot salahnya jika dilakukan di, misalnya, kawasan operasional pertambangan yang terpencil. Tetapi dampak buruk pungli mungkin lebih besar jika terjadi di kawasan yang bertujuan untuk memikat investor bagi industri yang padat karya, yang fokus pada produk ekspor. Para investor dapat dengan mudah memilih negara lain jika mereka merasa Indonesia tidak ramah.
Menurut HKI, uang-uang yang dikutip dari investor di bawah meja telah merugikan Indonesia ratusan triliun rupiah, karena proyek dibatalkan dan perusahaan investor mundur.
Jika sogokan tidak diberikan, pabrik-pabrik bisa saja diblokir oleh demonstrasi, atau properti yang ada dirusak massa.
HKI mengidentifikasi organisasi kemasyarakatan sebagai aktor jahat paling utama. Organisasi kemasyarakatan, sesungguhnya adalah organisasi sosial. Namun, akronimnya, “ormas”, seringkali diplesetkan sebagai "organisasi massa".
Pelaku biasanya adalah kelompok advokasi lokal yang dibentuk berdasarkan tujuan sosial, tetapi dalam praktiknya, mereka sering kali melayani kepentingan yang jauh lebih sempit. Dan tentu saja hanya sedikit, atau tidak ada, transparansi tentang arah aliran penggunaan dana yang terkumpul.
Pemerintah harus segera mengatasi masalah premanisme ini, jika ingin memanfaatkan momen perang dagang global. Ini saat tepat untuk menjadikan Indonesia, negara nonblok, sebagai tempat yang aman bagi investor internasional.
Masalah yang terjadi di sini bukan hanya sekadar aktivitas kriminal, seperti pemerasan berkedok biaya perlindungan. Tapi, masalah yang terjadi telah meluas hingga pemaksaan bagi perusahaan untuk mempekerjakan staf lokal, atau menggunakan subkontraktor tertentu untuk layanan akomodasi serta catering, dan sejenisnya.
Wajar saja mengharapkan investor untuk berkontribusi pada ekonomi lokal. Atau secara umum menyokong masyarakat sekitar. Namun, permintaan harus didefinisikan dengan jelas, dan cakupannya dibatasi.
Di awal, perusahaan perlu kepastian mengenai apa yang diharapkan dari mereka dalam hal tanggung jawab sosial perusahaan, dan apa yang tidak. Mereka perlu tahu bahwa, setelah semua persyaratan terkait proyek ditetapkan, mereka dapat melanjutkan bisnis, bekerja dalam parameter yang disepakati, dan tidak ada tuntutan tambahan yang dibebankan.
Menyelesaikan masalah sosial, pertama dan terutama, merupakan tanggung jawab pemerintah. Demikian pula, tanggung jawab lingkungan perusahaan harus dijelaskan dengan gamblang. Masalahnya bukan seberapa ketat aturannya, tetapi seberapa jelas. Selama aturannya jelas, harapannya bisa jadi tinggi.
Pemerintah juga harus berkomunikasi dengan masyarakat setempat terkait kepatuhan investor pada semua persyaratan, dan melindungi investor dari segala upaya pemerasan lebih banyak.
Kementerian Perindustrian mengakui bahwa pemerasan dan pungli telah menghalangi investasi asing. Tetapi masalah ini telah berlangsung terlalu lama. Meminta perusahaan yang terkena dampak untuk melaporkan upaya pemerasan kepada pemerintah daerah tidak akan berhasil, karena seringkali otoritas tersebut lambat atau enggan menanggapi.
Ada alasan mengapa banyak investor lebih suka menangani kasus seperti itu dengan langsung melapor pada pemerintah pusat. Fakta semacam itu seharusnya membuat Jakarta berpikir ulang.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.