Ini saatnya pemerintahan Presiden Prabowo Subianto secara tegas menentukan pendekatannya terhadap Washington, dan tidak menunda tindakan apa pun demi melindungi kepentingan nasional kita.
Persetujuan tak terduga antara Amerika Serikat dengan Rusia baru-baru ini, saat pemungutan suara terkait resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perang Ukraina, menggarisbawahi perubahan luar biasa dalam tatanan global.
Setahun silam, langkah seperti itu tidak akan terpikirkan, di bawah pemerintahan AS yang tampak sangat teguh menyalahkan Moskow.
Namun, dengan kebangkitan politik populis dan perilaku imperialis di seluruh dunia, saat ini kita berada dalam sebuah periode ketidakpastian geopolitik yang menuntut gerak cepat dan sedikit pragmatis.
Kami yakin sudah saatnya pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menentukan secara tegas pendekatan Indonesia terhadap Washington, dan tidak menunda-nunda dalam bertindak melindungi kepentingan nasional kita.
Hubungan Indonesia yang semakin erat dengan Global South, yang puncaknya adalah masuknya negara ini menjadi anggota BRICS, baru-baru ini, sejauh ini telah bermanfaat bagi kita. Hubungan tersebut memperkaya lingkaran mitra ekonomi dan diplomatik kita.
Namun, hubungan yang kembali hangat antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin menimbulkan tantangan baru.
Bahkan ada pembicaraan tentang konferensi Yalta kedua, yang melibatkan Tiongkok. Hal itu berpotensi membentuk kembali lingkup pengaruh global dengan berbagai cara yang tidak boleh diabaikan oleh negara mana pun.
Bagi Indonesia, harapan untuk melanjutkan proses akuisisi Sukhoi dari Rusia bisa dimunculkan lagi. Tetapi kita harus waspada terhadap risiko yang menyertainya di dunia yang tidak menentu ini. Saat ini, negara-negara besar dapat mengubah aliansi dengan cepat.
Mantan peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan A. Laksmana, pada 2019 menulis sebuah komentar di The Jakarta Post. Ia menyebut bahwa keberhasilan kebijakan luar negeri Indonesia bergantung pada kekuatan keselarasan yang terjadi di antara pertahanan, diplomasi, dan ekonomi.
Tulisan tersebut makin relevan saat ini, karena baru-baru ini analis lain mengamati terjadinya "pemutarbalikan globalisasi secara besar-besaran" yang dipelopori oleh Amerika di bawah Trump.
Selama beberapa dekade, Asia Tenggara, dan Indonesia khususnya, diuntungkan oleh arus perdagangan global yang memacu pertumbuhan industri dan penciptaan lapangan kerja. Karena tampaknya rantai pasokan global berisiko terkontraksi, kita harus bersikap cerdas dalam melibatkan Washington, sekaligus mempertahankan segala kemajuan yang telah kita capai.
India baru-baru ini memberikan contoh yang menarik. Perdana Menteri Narendra Modi mengunjungi Washington dengan membawa hadiah, sekaligus secara langsung meminta dikecualikan dari kebijakan terkait tarif.
Sebuah laporan Reuters menemukan bahwa kehadiran yang penuh pesona tersebut membantu proses pembuatan keputusan soal syarat perdagangan yang lebih baik bagi India. New Delhi terhindar dari kebijakan Trump yang paling tidak terduga.
Indonesia harus melakukan hal yang sama. Kita, seperti negara-negara ASEAN lainnya, harus menghindar dari kemungkinan jadi sasaran AS atas pelanggaran perdagangan atau surplus apa pun yang mengundang pemeriksaan.
Pencabutan larangan terkait Apple iPhone 16 di Indonesia secara de facto pada Rabu 26 Februari menjadi langkah tepat. Hal itu menunjukkan bahwa kita sadar betapa mudahnya kita jadi sasaran tindakan semena-mena Trump, jika kita gegabah melangkah.
Namun, masalah yang lebih besar terletak pada cara kita selayaknya menata ulang kembali kebijakan perdagangan kita. Dunia bisa saja terus-menerus terpaku pada manuver diplomatik berisiko tinggi. Tetap saja, perdagangan adalah jalur paling langsung menuju keamanan dan ketahanan ekonomi bagi Indonesia.
Mengikuti strategi India berarti menjaga keseimbangan antara kalibrasi ulang langkah diplomatik terkini Indonesia dengan tindakan praktis, demi menjaga rantai pasokan tetap kuat dan memastikan bahwa pasar kita tetap terbuka untuk perjanjian yang saling menguntungkan.
Indonesia punya keunggulan kompetitif yang unik. Sebut saja, mulai dari ekonomi digital yang berkembang hingga basis konsumen yang luas. Hal itu dapat dimanfaatkan jika kita mampu bergerak dengan cermat sesuai rencana.
Dengan demikian, akan jadi langkah bijaksana jika Presiden Prabowo memanfaatkan keahlian korps diplomatik Indonesia. Ia harus menyelaraskan keahlian itu secara saksama dengan para perencana pertahanan dan ekonominya. Ia harus segera menunjuk duta besar profesional untuk AS, Tiongkok, dan Rusia.
Masukan dari pihak luar juga bisa sangat berguna. Lembaga think tank, sosok individu yang tak terkait negara, dan mitra yang berpikiran sejalan siap mengulurkan tangan, memberi dukungan di bidang-bidang yang jelas-jelas kurang kita kuasai. Jika ragu, konsultasikan dengan mereka yang dapat membantu menavigasi kondisi di masa-masa sulit ini.
Indonesia tidak boleh lengah saat dunia tampaknya bergerak menuju ruang lingkup pengaruh yang baru.
Dengan bertindak sekarang, pemerintahan Prabowo dapat mengarahkan Indonesia dengan penuh percaya diri, menembus lanskap yang berubah ini. Ia dapat memastikan bahwa negara kita tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga berkembang sesuai tatanan dunia yang sedang bertumbuh.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.