Banyak yang mengatakan bahwa penangkapan Duterte tidaklah cukup. Masih ada tokoh yang tidak tersentuh hukum, meski tangan mereka berlumuran darah, seperti Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Akhirnya tiba saatnya bagi mantan presiden Filipina Rodrigo Duterte untuk diadili di Mahkamah Pidana Internasional (Internationl Criminal Court atau ICC) di Den Haag. Pengadilan atas Duterte dilakukan karena peran utamanya dalam pembunuhan di luar hukum terhadap ribuan tersangka pengedar narkoba dan penjahat di negaranya.
Bagi beberapa pemimpin di kawasan Asia Tenggara, penangkapan Duterte mengkhawatirkan dan harus ditanggapi dengan serius. Pasalnya, banyak pemimpin masih bergelut dengan masalah hak asasi manusia, meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN telah diadopsi pada 2012.
Para pemimpin harus belajar dari Duterte, karena ada mekanisme internasional, termasuk ICC, yang berlaku untuk meminta pertanggungjawaban mereka atas kekejaman dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mereka lakukan. Setelah Duterte, mungkin kasus berikutnya adalah pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, yang masuk dalam daftar buronan jaksa ICC. Jenderal tersebut telah dituduh melakukan kejahatan perang, termasuk kekerasan dan pengusiran terhadap kaum minoritas Rohingya. Kejahatan itu bahkan ia lakukan sebelum merebut kekuasaan dari pemerintahan yang dipilih secara demokratis pada 1 Februari 2021.
Jaksa ICC Karim Khan mengatakan bahwa pemimpin junta Myanmar tersebut melakukan kejahatan kemanusiaan dari Agustus hingga Desember 2017 di Bangladesh, yang merupakan anggota ICC.
Namun, banyak yang mengatakan bahwa penangkapan Duterte tidak cukup, karena masih ada tokoh yang tidak tersentuh hukum, meskipun tangan mereka berlumuran darah. Salah satunya adalah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. ICC telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk pemimpin Israel tersebut. Artinya, 122 negara anggota ICC wajib menangkap Netanyahu jika ia memasuki wilayah mereka. Negara itu termasuk Prancis dan Inggris.
Namun, mengingat dukungan Amerika Serikat yang sangat gigih terhadap Netanyahu, hampir tidak mungkin Netanyahu akan terlihat diadili di Den Haag.
ICC telah menjatuhkan dakwaan bagi 68 orang, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin, Netanyahu, dan Duterte. Pengadilan terhadap 34 tersangka pelaku kejahatan perang sedang berlangsung, dengan 30 orang masih bebas, tiga menjalani hukuman, dan empat orang dibebaskan dari dakwaan.
Duterte tiba di Den Haag pada Selasa. Ia bisa jadi berpikir bahwa ia tidak melakukan kesalahan apa pun saat memerintahkan pembunuhan puluhan ribu orang dengan kedok perang melawan narkoba. Para pendukungnya membenarkan tindakan keras tanpa ampun tersebut, yang ia rencanakan saat menjabat sebagai wali kota Davao dan, kemudian, sebagai presiden dari 2016 hingga 2022.
ICC pertama kali menyadari dugaan kekejaman yang dilakukan Duterte pada 2016 dan memulai penyelidikannya pada 2021. ICC meneliti kasus-kasus dari November 2011, saat ia menjabat sebagai wali kota, hingga Maret 2019. Penyelidikan dilakukan sebelum Filipina, di bawah kepemimpinannya, menarik diri dari ICC. Hingga penangkapannya, ia terus bersumpah akan membunuh lebih banyak pengedar narkoba jika ia punya kesempatan.
Penangkapan Duterte yang berusia 79 tahun berjalan lancar berkat kerja sama penuh Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. ICC baru mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk mantan presiden Filipina tersebut pada 7 Maret.
Marcos Jr awalnya menolak membantu ICC, dengan alasan bahwa yang dilakukan Duterte murni masalah dalam negeri. Marcos dan Duterte membentuk aliansi yang melambungkan Marcos Jr ke tampuk kekuasaan pada 2022, menggantikan Duterte. Namun hubungan antara keduanya memburuk dalam beberapa bulan terakhir, setelah putri Duterte, Wakil Presiden Sara Duterte, berselisih dengan Marcos. Sara kemudian dimakzulkan oleh Senat pada 5 Februari.
ICC bertanggung jawab untuk menyelidiki dan, jika diperlukan, mengadili orang-orang yang didakwa dengan kejahatan kemanusiaan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Kejahatan itu termasuk genosida dan kejahatan perang. Pengadilan hanya memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta Roma pada 1 Juli 2002.
Puluhan ribu keluarga korban pembunuhan di luar hukum yang dilakukan Duterte kini dapat berharap keadilan ditegakkan, setelah bertahun-tahun menunggu. Bagi masyarakat di seluruh ASEAN, penangkapan dan persidangan Duterte yang akan datang sangat membantu menunjukkan bahwa hak asasi manusia adalah norma yang akan membimbing kawasan ini menuju masa depan yang lebih cerah.
Kamboja dan Malaysia adalah satu-satunya negara anggota ASEAN yang telah meratifikasi Statuta Roma. Namun, semua pemerintah dan masyarakat ASEAN harus memastikan bahwa setelah Duterte, tidak akan ada lagi penguasa yang menggunakan teror demi mempertahankan kekuasaan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.