KUHAP yang baru, jika disahkan sebagaimana adanya, berisiko memperburuk pelanggaran hak asasi manusia yang sudah mengakar dalam sistem peradilan. Perlu revisi sejak awal.
Proses pembentukan undang-undang di Indonesia menunjukkan tren yang meresahkan. Kurangnya transparansi terlihat dalam pembahasan rancangan undang-undang yang kontroversial. Alih-alih belajar dari kesalahan yang lalu, para pembuat kebijakan bersiap untuk merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang telah berusia 24 tahun, tanpa konsultasi publik yang berarti.
Revisi KUHAP merupakan konsekuensi dari pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang baru pada 2022. KUHP baru akan mulai berlaku tahun depan. Publik belum banyak mengetahui rancangan KUHAP yang baru, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa DPR akan membahasnya secara tergesa-gesa demi melayani kepentingan kelompok politik.
Saat ini, rancangan KUHAP versi DPR, yang disahkan sebagai inisiatif RUU pada 18 Februari, memberi kewenangan yang lebih besar kepada lembaga penegak hukum, tanpa pengawasan yang memadai. KUHAP yang baru, jika disahkan sebagaimana adanya, berisiko memperburuk pelanggaran hak asasi manusia yang sudah mengakar dalam sistem peradilan. Hal itu jadi alasan mengapa sejak awal diperlukan revisi KUHAP.
Rancangan KUHAP tersebut, misalnya, memberi sembilan alasan bagi penegak hukum untuk menahan tersangka. Artinya, jumlahnya bertambah dari tiga alasan dalam KUHAP yang ada. Masalahnya, alasan tambahan untuk penahanan tersebut terbuka untuk penafsiran ganda. Misalnya, alasan penahanan karena memberikan keterangan palsu selama penyidikan, tidak bekerja sama dalam penyidikan, dan menghalangi penyidikan. Dalam praktiknya, penyidik dapat menahan tersangka dengan alasan menghambata peradilan hanya karena tersangka meminta bantuan penasihat hukum.
Sesuai rancangan KUHAP tersebut juga, tersangka dapat ditahan jika penyidik menganggap mereka memberi keterangan yang menyesatkan. Padahal, bisa saja tersangka hanya melaksanakan hak mereka untuk menolak menjawab pertanyaan. Dan hak tersebut dibenarkan dalam KUHAP.
Sistem peradilan pidana Indonesia selalu berjibaku dengan standar penahanan baku, yang harus mengikuti keadaan faktual untuk membenarkan penahanan. Keputusan penahanan sepenuhnya berada di tangan penyidik, bukan hakim. Rancangan revisi KUHAP gagal mengatasi masalah tersebut, dan malah memperburuk ambigu yang terjadi.
Rancangan KUHAP juga menetapkan penggunaan rekaman video dalam proses interogasi tersangka untuk mencegah kekerasan dan penyiksaan saat mendapatkan pengakuan. Namun, mekanisme tersebut tidak wajib, yang berarti masih terbuka kemungkinan bagi penyidik untuk menyiksa tersangka.
Tidak disebutkan dalam rancangan tersebut tentang kewajiban memasang CCTV di tempat-tempat penahanan. Jika pun tersedia, rekaman dari kamera pengawas berada di bawah kendali penyidik, yang dengan sesuka hati dapat menolak akses publik dan tersangka ke rekaman tersebut.
Sebagai bagian dari upaya untuk mempromosikan keadilan restoratif, rancangan KKUHAP memungkinkan penegak hukum untuk menghentikan penyelidikan bahkan sebelum pembuktian diluncurkan sepenuhnya. Namun, tidak ada mekanisme pengawasan untuk memastikan akuntabilitas atas keputusan penangguhan penyelidikan tersebut. Kewenangan ini justru membuka ruang bagi pemerasan atau intimidasi oleh penyidik, yang kabarnya marak terjadi.
Revisi KUHAP merupakan keniscayaan untuk membangun sistem peradilan pidana yang kredibel, juga sistem yang tidak memberi ruang bagi penyalahgunaan wewenang. Proses hukum yang wajar tidak boleh melanggar hak asasi manusia. Jika ada pelanggaran hak, ujungnya berarti ketidakadilan hukum.
KUHAP yang saat ini berlaku menuai kritik karena ketentuannya yang sudah ketinggalan zaman dan tidak mencerminkan standar hak asasi manusia masa kini. Di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap penahanan sewenang-wenang, kebrutalan polisi, dan vonis yang salah, seruan untuk reformasi hukum terus menguat dalam beberapa tahun terakhir.
Partisipasi publik menjadi penting, karena KUHAP baru akan berpengaruh pada hidup masyarakat, jika mereka menjadi korban penangkapan yang tidak sah. Sayangnya, survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan bahwa hanya 29,7 persen responden yang mengetahui rencana revisi KUHAP.
Karena itu, DPR harus menghubungi pemangku kepentingan utama, termasuk pakar hukum, akademisi, dan kelompok hak asasi manusia, untuk menyempurnakan rancangan revisi KUHAP, sebelum memulai pembahasan formal dengan pemerintah. Jika pembahasan akhirnya benar-benar terjadi, DPR sebaiknya tidak menggelarnya dalam sidang tertutup, seperti yang terjadi pada revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) beberapa waktu lalu.
Pendek kata, DPR sebaiknya menunda revisi KUHAP jika belum siap dengan rancangan yang lebih baik.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.