TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Eksperimen di bidang pendidikan

Tanpa landasan yang kokoh, misalnya tanpa adanya kebijakan yang konsisten, sistem pendidikan nasional hanya menelan para muridnya.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Sat, April 19, 2025 Published on Apr. 18, 2025 Published on 2025-04-18T18:51:14+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Eksperimen di bidang pendidikan Elementary school pupils participate in a coloring contest at a literacy festival and book fair held in Padalarang, West Bandung, on Feb. 18. (Antara/Abdan Syakura)
Read in English

 

Fenomena siklus “pemerintahan baru, kebijakan baru” sangat terlihat dalam sistem pendidikan nasional. Banyak hal hanya menunjukkan kepicikan para pembuat kebijakan, yang lebih mengutamakan penampakan luar daripada isi atau substansi. Tanpa landasan yang kokoh, seperti yang ditunjukkan dengan ketiadaan kebijakan yang konsisten, sistem pendidikan nasional hanya menelan anak-anak sekolahnya. Para murid hanya akan kelelahan belajar. 

Hasil dari sistem pendidikan yang asal-asalan, coba-coba, dan bias politik itu nyata adanya. Siswa Indonesia tidak pernah menjadi unggulan dalam Programme for International Student Assessment (PISA). Asesmen ini menguji siswa usia 15 tahun yang sedang menempuh pendidikan dasar. Di sisi lain, posisi universitas-universitas Indonesia biasa-biasa saja dalam pemeringkatan global. Tidak ada satu pun mahasiswa Indonesia yang dinominasikan untuk penghargaan bergengsi seperti Nobel di bidang sains, berbeda dengan India dan Pakistan yang pernah memenanginya.

Indonesia sempat mengambil langkah maju di bidang pengembangan pendidikan pada 2002. Saat itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengubah Undang-Undang Dasar, dengan mewajibkan pemerintah pusat dan daerah untuk mengalokasikan 20 persen dari anggaran nasional dan daerah, demi pendidikan. Namun, dalam implementasinya, upaya negara menyediakan pendidikan yang bermutu tampak carut marut. Sebagian dari anggaran yang sangat besar telah terbuang untuk bereksperimen dengan sistem baru, yang hanya memuaskan segelintir orang tapi di sisi lain mengorbankan banyak orang lain.

Ambil contoh wacana tentang dikembalikannya penjurusan menjadi bidang sains, studi sosial, dan studi bahasa di sekolah menengah atas. Hal itu digagas oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti. Jika rencana tersebut terwujud, artinya warisan mantan menteri pendidikan Nadiem Makarim, yang dikenal sebagai Kurikulum Merdeka, akan dibongkar lagi. Nadiem memperkenalkan Kurikulum Merdeka pada 2021 untuk menghapus jalur akademis tradisional, yang secara luas dianggap ketinggalan zaman dan diskriminatif. Nadiem, yang merupakan perwakilan dari generasi muda Indonesia yang paham teknologi, dianggap sebagai lawan bagi kelompok muslim besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dan Mu’ti adalah anggota Muhammadiyah. 

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Meski tidak sempurna, Kurikulum Merdeka telah menuai pujian. Bagaimana pun, kurikulum tersebut mengakhiri konsep hierarki yang dianggap berlaku di kalangan siswa sains, studi sosial, dan bahasa. Kurikulum Merdeka mendorong siswa untuk memilih mata pelajaran berdasarkan minat pribadi dan aspirasi karier mereka.

Kini, setelah beberapa tahun diadopsi dan diadaptasi, sistem tersebut akan disetel ulang. Mu’ti mengatakan bahwa pengaktifan kembali penjurusan sistem lama akan membantu siswa mempersiapkan diri menghadapi ujian kemampuan akademik di masa datang. Ujian ini juga merupakan kebijakan lain yang ditetapkan untuk menghapus warisan penilaian nasional yang digagas Nadiem.

Yang sama membingungkannya adalah program Sekolah Rakyat (sekolah komunitas) yang digagas Presiden Prabowo Subianto. Sekolah Rakyat dibentuk untuk menyediakan pendidikan berkualitas bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah dan mereka yang hidup dalam kemiskinan yang sangat parah. Statistik Indonesia menemukan bahwa hampir tiga perempat pencari nafkah yang hidup di bawah garis kemiskinan hanya lulusan sekolah dasar. Data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah pada Januari tahun ini juga menemukan bahwa kemiskinan memaksa lebih dari 730.000 lulusan sekolah dasar tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah.

Jika sudah sepenuhnya terlaksana, program Sekolah Rakyat merupakan sekolah berasrama yang menyasar anak-anak dari semua usia sekolah. Tetapi di tahap pertama, yang akan dimulai pada tahun ajaran baru Juli mendatang, fasilitas Sekolah Rakyat akan tersedia untuk siswa sekolah menengah atas. Penerimaan siswa sedang berlangsung. Perekrutan guru juga akan dimulai bulan ini.

Para kritikus telah memperingatkan bahwa program Sekolah Rakyat akan memperdalam segregasi sosial dan diskriminasi di masyarakat. Lebih jauh lagi, program ini akan menciptakan stigma bagi siswa Sekolah Rakyat, yang dapat memengaruhi rasa percaya diri dan prestasi akademik mereka.

Kontroversi lainnya terletak pada kenyataan bahwa Kementerian Sosial dipercaya untuk menjalankan program tersebut. Dengan kata lain, melangkahi kewenangan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Tentu bukan kebetulan bahwa menteri sosial saat ini adalah Saifullah Yusuf dari NU, organisasi muslim terbesar, yang mendukung pencalonan presiden Prabowo.

Data Kementerian Agama tahun 2022 menyebutkan bahwa sekitar 13.500 pesantren di seluruh Indonesia berafiliasi dengan NU. Selama lima tahun terakhir, NU mengusung ajaran Islam Nusantara sebagai tandingan terhadap Islam radikal.

Semua inisiatif dan inovasi pemerintah ini bisa jadi berawal dari niat luhur untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional. Namun, sering kali kebijakan yang diambil tidak mempertimbangkan aspirasi peserta didik dan pendidik, yang secara langsung terdampak oleh perubahan sistem pendidikan.

Peserta didik adalah aset bangsa yang berharga. Mereka bukan kelinci percobaan bagi program-program populis. Demi masa depan mereka, mari kita hentikan kebijakan yang plin-plan.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.