Dengan jumlah pelanggan yang menurun dan pendapatan iklan yang menyusut, inilah masa-masa terburuk bagi media massa, di Indonesia, maupun di belahan bumi lain, untuk menghadapi tantangan lain yang lebih serius, atau bahkan eksistensial.
Selama bertahun-tahun ini, industri media mengalami kemerosotan. Awalnya menurun, sekarang menjadi krisis, yang sebagian besar disebabkan adanya disrupsi teknologi informasi. Internet dan media sosial telah membuat cara penyampaian berita model lama menjadi usang. Keadaan yang sulit itu berdampak buruk pada laporan keuangan perusahaan media.
Dengan jumlah pelanggan yang menurun dan pendapatan iklan yang menyusut, inilah masa-masa terburuk bagi media massa, di Indonesia maupun di belahan bumi lain, untuk menghadapi tantangan lain yang lebih serius, atau bahkan eksistensial.
Saat ini, politik punya andil besar dalam pukulan terbaru untuk perusahaan media yang berjuang menegakkan independensi jurnalisme.
Di banyak negara, munculnya pemimpin populis, sudah sepenuhnya menyingkirkan media arus utama. Pasalnya, para pemimpin itu, semuanya, telah mengembangkan kebiasaan menjangkau dan berkomunikasi langsung dengan rakyat.
Pada saat segalanya normal, para pemimpin populis ini lebih suka berbicara kepada sekelompok jurnalis yang ramah dan pemengaruh atau influencer. Mereka inilah yang hanya akan menuliskan hal yang baik-baik saja tentang pemimpin terkasih mereka.
Jika para pemimpin populis itu sedang rewel, mereka dapat membuat hidup para jurnalis, sekaligus media yang menaungi jurnalis tersebut, kesulitan. Terutama jika mereka tidak bersedia mengikuti kemauan pemerintah.
Saat ini, keamanan bagi perusahaan media sama sekali tidak ada, bahkan di negara demokrasi yang mapan seperti Amerika Serikat.
Pengunduran diri Bill Owens dari CBS, adalah hal yang biasanya kita lihat terjadi di negara dunia ketiga. Bill adalah produser eksekutif program legendaris 60 Minutes.
Faktanya, Bill mengundurkan diri karena menghadapi gugatan senilai 10 miliar dolar Amerika dari Presiden AS Donald Trump, atas apa yang ia gambarkan sebagai "pelaporan yang bias". Hal itu sangat membingungkan.
Namun, ancaman gugatan itu sama sekali tidak mengejutkan. Pasalnya, gugatan datang dari Trump atau orang-orang dalam pemerintahannya. Tanda-tanda terkait hal itu sudah terlihat saat jurnalis yang kredibel dari media terkemuka dikeluarkan dari kelompok pers Gedung Putih.
Di Argentina, presiden sayap kanan Gabriel Milei, selama jabatannya, telah melancarkan serangan terhadap jurnalis. Ia menggambarkan seluruh pihak yang terkait profesi tersebut sebagai koruptor. Akibatnya, banyak jurnalis menjadi sasaran serangan dari para pendukung Gabriel.
Indonesia tidak kebal dari tren ini.
Pengiriman kepala babi kepada seorang jurnalis investigasi perempuan dari mingguan Tempo pada Maret lalu merupakan lampu merah yang terang benderang memberi peringatan bagi kebebasan pers di Indonesia. Padahal, negara ini adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Bagi Tempo, pengiriman kepala babi tersebut merupakan puncak dari pola pelecehan, sebagai balasan atas jurnalisme investigasi yang dilakukan oleh majalah mmingguan itu. Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa jurnalis yang bekerja di sana telah melaporkan adanya serangan terhadap properti pribadi mereka.
Bagian yang paling mengganggu dari episode tersebut adalah bahwa pemerintah, dan lembaga penegak hukum, tampak tidak menanggapi dengan serius masalah pelecehan jurnalis yang terjadi.
Dua bulan telah berlalu sejak insiden tersebut, dan Kepolisian Jakarta belum dapat menemukan petunjuk apa pun dalam penyelidikan mereka.
Sangat tidak menolong ketika seorang juru bicara kepresidenan juga meremehkan intimidasi, dengan menyarankan agar kepala babi itu dimasak saja
Bagaimana jika keputusan terbaru dari Kantor Kejaksaan Agung, yang menetapkan pemimpin redaksi sebuah stasiun tv berita sebagai tersangka dalam kasus perintangan penyidikan, merupakan konsekuensi dari sikap pihak berwenang yang tidak menganggap serius pelecehan terhadap jurnalis?
Di tengah-tengah segala huru hara inilah, hari ini The Jakarta Post merayakan ulang tahunnya yang ke-42.
Diterpa tantangan ganda dari model bisnis yang berubah dan kebebasan media yang makin terbatas, harus diakui bahwa menghadirkan pelaporan yang berani dan independen, setiap hari, adalah pekerjaan yang makin hari makin menantang.
Namun, 42 tahun adalah waktu yang lama. Sejujurnya, beberapa waktu lalu, yang belum terlalu lama berlalu, ada saat-saat ketika seluruh halaman berita kosong melompong, akibat sensor.
Kami pastikan hal itu tak akan terulang lagi.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.