Jika pemerintah benar-benar peduli mengatasi kemacetan di Tanjung Priok, harus mulai dipikirkan solusi transportasi barang dari pusat produksi di Jawa Barat dan Banten ke Jakarta dengan kereta api. Sejauh ini, angkutan kereta api masih sangat kurang dimanfaatkan.
Pekan lalu, sebagian besar wilayah Jakarta Utara lumpuh selama dua hari. Insiden itu terjadi karena kemacetan lalu lintas di jalan menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Otoritas pelabuhan harus bertanggung jawab atas kemacetan tersebut. Pasalnya, kemacetan merupakan akibat dari buruknya operasional dan perencanaan pelabuhan.
Ini bukan insiden pertama yang terjadi dalam skala sebesar itu. Tahun lalu, kemacetan serupa penah terjadi. Juga di tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu, menurut laporan media, kemacetan berawal dari kesalahan dalam sistem otomatis gerbang pelabuhan.
Tampaknya sudah menjadi norma yang wajar bahwa peti kemas yang membawa barang bernilai miliaran dolar akan tertahan selama berjam-jam, bahkan berhari-hari. Alasannya karena operasional gerbang yang tidak efisien, koordinasi yang buruk di antara para pemangku kepentingan, dan prosedur bea cukai yang lamban. Kerugian yang ditimbulkan dari inefisiensi ini pasti luar biasa besar.
Pemerintah daerah tidak akan mampu mengambil tanggung jawab atas bencana yang berulang seperti itu seorang diri. Pemerintah pusat, yang mengawasi operator pelabuhan milik negara PT Pelindo, juga harus ikut bertanggung jawab.
Adalah mandat Pelindo untuk memastikan kelancaran dan efisiensi operasional pelabuhan di seluruh nusantara. Tentu tugas itu meliputi Tanjung Priok, pelabuhan terbesar di negara ini.
Namun, alih-alih menerapkan perubahan sistemik yang berarti, pemecahan yang dikerjakan sering hanya berupa solusi tambal sulam, perbaikan sementara, peresmian ini itu yang bersifat seremonial belaka, dan janji digitalisasi yang terlalu optimistis, dengan tingkat keberhasilan yang sangat kecil saat diaplikasikan di lapangan.
Pelindo telah mengajukan rencana pembangunan lebih banyak jalur jalan menuju Tanjung Priok. Kemacetan berulang memang menunjukkan bahwa infrastruktur fisik di sekitar pelabuhan tidak cukup untuk mendukung volume kendaraan yang lalu lalang.
Meski begitu, operator pelabuhan itu harus paham bahwa membangun jalan hanya akan memperbaiki kemacetan untuk sementara. Bagaimana pun, volume peti kemas lambat laun akan menyesuaikan dengan kapasitas jalan yang ditambahkan, seiring dengan pertumbuhan ekonomi kita. Akibatnya, kemacetan akan kembali terjadi.
Jika pemerintah benar-benar peduli mengatasi kemacetan di Tanjung Priok, harus mulai dipikirkan solusi transportasi barang dari pusat produksi di Jawa Barat dan Banten ke Jakarta dengan kereta api. Sejauh ini, angkutan kereta api masih sangat kurang dimanfaatkan.
Jalur jalan mungkin lebih murah dan dapat lebih cepat dibangun. Namun, jalur kereta api menjanjikan efisiensi dan mungkin biaya logistik yang lebih kompetitif.
Selain itu, jalur kereta api yang saling terhubung juga dapat membantu agar beban pelabuhan dapat terbagi antara Tanjung Priok dengan pelabuhan lain, seperti Patimban di Jawa Barat. Tidak akan ada lagi alasan bagi para pelaku bisnis untuk tidak memanfaatkan pelabuhan. Juga tak akan ada lagi lokasi pelabuhan yang terlalu jauh hingga menambah biaya transportasi jadi mahal.
Bisa jadi negara punya anggaran untuk membangun infrastruktur kereta api. Tapi, perwujudannya mungkin mustahil, mengingat proyek semacam itu akan memerlukan koordinasi lintas sektoral. Dan justru hal itulah yang luput dari perhatian sebagian besar pejabat Indonesia. Selain itu, pembangunan infrastruktur kereta api tidak pernah menjadi prioritas pemerintah.
Selain kemacetan, Pelabuhan Tanjung Priok adalah lokasi pemerasan yang parah, merajalela di segala lini. Masalah itu masih belum terselesaikan meskipun banyak komitmen pemerintah untuk memberantas praktik pemerasan tersebut. Pelakunya banyak, mulai dari kelompok lokal hingga penegak hukum.
Pada Februari tahun ini, para pengemudi yang marah mengancam akan mogok jika pihak berwenang tidak memberantas praktik pemerasan. Pasalnya, pungli membuat mereka kehilangan pendapatan. Mereka mengeluh bahwa pungli terjadi setiap hari.
Pelabuhan Tanjung Priok menyumbang lebih dari 36 persen kapasitas bongkar muat lima terminal peti kemas utama di Indonesia. Pemerintah harus sadar bahwa gangguan dan inefisiensi yang terjadi di Tanjung Priok akan merugikan perekonomian.
Kerugian bisa bertambah besar jika kita juga menghitung dampak kemacetan terhadap warga Jakarta. Belum lagi dampaknya bagi orang lain yang bergantung pada jalan akses untuk pulang pergi ke tempat kerja. Belum lagi emisi karbon ekstra yang memperburuk polusi udara kota.
Kemacetan dua hari di jalur jalan menuju Tanjung Priok bukan hanya masalah Jakarta. Ini adalah masalah nasional sekaligus aib internasional, mengingat ambisi negara ini untuk menjadi kekuatan maritim utama dan pemain kunci dalam perdagangan global.
Transformasi ekonomi tidak akan terjadi jika kita tidak dapat menata pelabuhan-pelabuhan kita, dan menyediakan dukungan logistik yang sangat baik bagi industri kita. Kemacetan tidak boleh terjadi lagi. Bebas macet bukan hanya untuk satu hari, tapi untuk selamanya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.